Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | ERA ini adalah era dimana buzzer mendapatkan tempat khusus, dan bahkan menemukan kebebasan-kemerdekaan. Bicara apa pun, bahkan memfitnah siapa pun dari kelompok yang mengkritisi kebijakan rezim, mereka aman-aman saja.
Mereka seolah tak tersentuh hukum, kebal hukum. Bahkan sampai tingkat rasis, penodaan agama, hal-hal yang semula tabu untuk disentuh, tapi tidak oleh mereka, yang itu aman-aman saja.
Bahkan sekelas mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) yang difitnah dengan cara diolok-diolok, dan lalu oleh sang putri dilaporkan pada Kepolisian, tapi tidak juga ada tindak lanjutnya.
Begitu pula mantan Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang diolok-olok oleh para buzzer, dan itu lebih pada sikap Partai Demokrat, yang bersikap menolak atas diundangkannya Omnibus Law.
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, diolok-olok, dirasiskan, difitnah, dan apapun jenis kejelekan dihantamkan padanya. Anies memang elegan, ia tidak mempermasalahkan itu semua. Tidak sekalipun ujaran-ujaran kebencian para buzzer padanya, yang lalu ia laporkan.
Anies memilih mendiamkan saja, tidak ngaruh ocehan para buzzer itu buatnya. Anies memilih bekerja dan bekerja, dan lalu penghargaan demi penghargaan atas prestasinya, dan prestasi provinsi DKI Jakarta yang dipimpinnya.
Di era ini, siapa saja yang mencoba mengkritisi kebijakan pemerintah dihabisi dengan cara-cara yang belum dikenal di era rezim sebelumnya. Media sosial menjadi lahan pekerjaan para buzzer, yang kehadirannya seperti digerakkan.
Maka penyebaran berita hoax mereka produksi sebanyak mungkin, dan itu ditujukan pada tokoh-tokoh kritis. Tidak sedikit pun ada rasa hormat pada tokoh-tokoh yang disasarnya. Seolah melupakan pengabdian para tokoh itu pada bangsa dan negara di masa lalu.
Hoax dan Penetapan Hukum Berbeda
Undang-undang ITE seolah tunduk diketiak para buzzer. Meskipun tindakan mereka telah memenuhi unsur pelanggaran pada pasal-pasalnya, tapi aparat tidak melihatnya sebagai unsur yang bisa menjeratnya.
Maka sebaran hoax yang diproduksi, itu aman-aman saja. Tidak bagi kelompok kritis, maka UU ITE bisa menjeratnya. Tampak perlakuan hukum yang berbeda.
Syahganda Nainggolan, aktivis yang disebut menyebar berita hoax berkenaan dengan UU Cipta Kerja (Omnibus Law), ditangkap, ditahan, diadili, dan dituntut penuntut umum pada PN Depok, dengan tuntutan 6 tahun penjara.
Bagi pihak yang kritis, definisi hoax bisa melebar menjadi luas, dan itu bisa dikenakan pasal pelanggaran UU ITE, meski yang disampaikan sebuah analisa ilmiah sekalipun. Istilah lainnya, dikriminalisasi. Syahganda Nainggolan, itu bisa jadi korban kriminalisasi.
Pekan ini kita dihebohkan dengan berita Prof Henry Subiakto, yang menyebar berita hoax. Meski lalu dihapusnya, dan ia ngeles cuma ingin eksperimen, katanya. Tapi beberapa orang telah mengambil tangkapan layar.
Hoax Prof Henry Subiakto, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), yang mengunggah di akun Twitter pribadinya. Video yang diunggah olehnya itu disebutnya sebagai warga negara Indonesia, yang sedang diserang perbuatan rasis di Amerika Serikat.
“Ada fenomena rasis di Amerika Serikat. Bule benci wajah-wajah Asia. Ini anak Indonesia di San Diego diserang bule. Dia adalah Anton Karundeng, orang Menado Surabaya. Si bule gak tahu kalau Anton jago berantem. Video ini dapat dari FB Peter F. Gontha,” tulis @henrysubiakto, dalam tangkapan layar yang diunggah @raviopatra pada Rabu, (31 Maret).
Syahganda dianggap penyebar hoax, dan karena tulisannya itu terjadi kerusuhan pada demonstrasi penolakan pada UU Cipta Kerja. Padahal tanpa adanya tulisan Syahganda itu, demonstrasi memang sudah dijadwalkan. Maka tuduhan atas terjadinya kerusuhan pada demo itu, sepertinya mencari delik untuk memenjarakannya. Apes Syahganda.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Tapi unggahan Prof Henry, yang itu pun punya potensi kerusuhan, karena yang disampaikannya adalah masalah rasis yang diterima WNI di Amerika Serikat. Meski tidak terjadi kerusuhan, tapi potensi itu ada karena narasi yang dibuatnya cukup menguras emosi yang mampu meledak. Sakti Prof Henry.
Tapi sekali lagi, Prof Henry Subiakto aman-aman saja dengan unggahan hoaxnya, karena ia bagian dari rezim. Dan karena itu, Mas Adhie Massardi, mantan jubir Presiden Abdurrahman Wahid, kesal dan protes dan lalu membandingkan kasus Syahganda dan Prof Henry, yang menurutnya identik. Menurutnya, pejabat melanggar itu pantas dihukum setidaknya 2 kali lipat.
Hoax yang disebar para buzzerRp, dan hoax unggahan Prof Henry Subiakto, itu tidak dianggap hoax. Meski itu jelas-jelas hoax dalam maknanya, karena yang disampaikan adalah berita hohong, berita tidak sebenarnya.
Kemerdekaan mengemukakan pendapat, meski analisa ilmiah, memang bukan milik Syahganda Nainggolan dan kawan-kawan yang memilih bersikap kritis. Karenanya, fisiknya lalu mesti dipenjarakan. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya