Hidayatullah.com—Presiden Amerika Serikat Joe Biden mencabut sanksi terhadap para pejabat tinggi International Criminal Court (ICC) yang diberlakukan oleh Donald Trump.
Dilansir DW, hari Jumat (2/4/2021) Amerika Serikat mencabut sanksi atas jaksa-jaksa tinggi pengadilan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berbasis di Den Haag seiring dengan upaya pemerintahan Presiden Biden membatalkan langkah-langkah agresif pemerintahan sebelumnya terhadap lembaga-lembaga internasional.
Mengumumkan keputusan tersebut, Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah sebelumnya “tidak tepat dan tidak efektif.”
Pemerintahan Trump memberlakukan sanksi finansial dan visa AS kepada kepala jaksa penuntut ICC kelahiran Gambia Fatou Bensouda tahun lalu setelah dia meluncurkan investigasi atas dugaan kejahatan perang yang dilakukan tentara AS di Afghanistan.
Selain itu, ICC juga melakukan investigasi atas dugaan kejahatan perang di teritori Palestina oleh Israel, sekutu dekat Amerika Serikat.
Marah dengan investigasi-investigasi itu, menteri luar negeri AS kala itu Mike Pompeo menyebut ICC sebagai “pengadilan kanguru”, menuding pengadilan internasional itu melanggar kedaulatan AS.
Selain Bensouda, sanksi AS dijatuhkan pula atas
Phakiso Mochochoko, kepala Divisi Yuridiksi, Komplementaritas dan kerjasama ICC, sementara staf ICC lain dikenai larangan visa.
Hari Jumat Biden mencabut perintah eksekutif yang dikeluarkan Trump, mengakhiri semua sanksi dan larangan visa.
Meskipun demikian, Biden menegaskan bahwa AS akan berusaha keras membela semua personelnya dari jerat hukum ICC.
Menlu Blinken mengatakan Amerika Serikat tetap sangat tidak setuju dengan langkah ICC terkait masalah di Afghanistan dan Palestina.
Seorang jubir ICC mengatakan bahwa pengadilan dan badan pengurusnya yang terdiri dari negara-negara anggota (Assembly of States Parties) menyambut baik keputusan pemerintah AS tersebut.
Silvia Fernandez de Gurmendi, presiden Assembly of States Parties, menyuarakan harapannya bahwa keputusan AS itu menjadi awal baru dalam penanganan kejahatan perang sehingga tidak ada lagi pihak yang lolos dari pertanggungjawaban.
Amerika Serikat bukanlah anggota ICC dan belum menandatangani Statuta Roma yang mendasari pendirian lembaga peradilan itu.
Sementara pemerintahan AS pimpinan Partai Demokrat bersikap lebih suportif terhadap ICC, prospek AS untuk bergabung di dalamnya masih belum tampak karena kubu Partai Republik menentang keras.
Pada tahun 2002, Kongres AS bahkan meloloskan UU yang memberikan wewenang kepada militernya untuk membebaskan siapa saja personel AS yang ditahan oleh ICC, yang artinya memberikan lampu hijau kepada tentara AS untuk menyerang Belanda, negara sekutunya di NATO.*