Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Wahai orang-orang beriman! Sesungguhnya minunan keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. — QS: Al-Maidah 90.
Diamnya Wapres Kyai Ma’ruf Amin, ini tentu bukan karena malas bicara, tapi mungkin sedang mencari waktu yang tepat untuk bicara. Buat banyak orang, ini waktunya Kyai Ma’ruf bicara, bukan memilih dengan tidak berbicara.
Apa yang diinginkan umat agar ia sudi berbicara, lain pula dengan apa yang disikapinya. Memilih diam adalah pilihan Kyai Ma’ruf, berkenaan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10, Tahun 2021.
Perpres Nomor 10 itu berkenaan dengan dibukanya investasi minuman keras (miras), itu pada empat wilayah di Indonesia: Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara (Sulut) dan Papua.
Namun, Majelis Rakyat Papua (MRP), menolak keras penetapan daerahnya yang terpilih satu dari empat daerah investasi miras. Begitu pula Gubernur Papua, bahkan dengan emosional, jika sampai itu terjadi, maka ia akan hancurkan toko-toko penjual miras di Papua.
Bahkan Natalius Pigai, aktivis kemanusiaan asal Papua, bahkan dengan nada heran mengatakan, kenapa investasi miras itu hanya diizinkan di wilayah nasrani. Sebenarnya Pigai tidak perlu heran, karena jelas hanya Islam yang jelas dan tegas mengharamkan miras dan minuman beralkohol lainnya. Sedang agama lain, setidaknya tidak tampak ajarannya mengharamkannya dengan tegas.
Penolakan pelegalan investasi miras ini dilakukan oleh Ormas Islam besar Muhammadiyah, NU dan lainnya, meski pelegalan investasi itu ada di wilayah-wilayah di mana Islam minoritas. Itu karena dampak peredarannya akan melintasi tidak saja pada wilayah produsen. Artinya, akan bisa ditemui atau dipasarkan di seluruh nusantara.
Baca: Seperti Bukan Kyai Ma’ruf Saja Wapresnya
Dampak dari miras itu dahsyat. Bahkan miras itu disebut induk dari kejahatan. Semua kejahatan bisa dimulai dari nenggak miras, setelah kesadaran hilang maka terbuka peluang untuk melakukan perbuatan keji dan munkar lainnya.
Semua menyadari dampak yang akan ditimbulkan miras itu. Bahkan bisa menghancurkan tidak saja satu komunitas, tapi bahkan suatu bangsa. Lalu kenapa justru muncul Perpres pelegalan investasi miras itu. Bagaimana mungkin negara yang menganut Pancasila, dan rezim yang memilih jargon Revolusi Mental, justru membuka lebih besar peluang kerusakan moral.
Rezim ini tengah memilih liberalisme ekonomi, menjauh dari paham ekonomi Pancasila. Pada liberalisme ekonomi, yang dipikirkan keuntungan tanpa memikirkan dampak yang akan ditimbulkan. Sedang konsep ekonomi yang dibangun founding father, itu ekonomi yang tidak sekadar mencari keuntungan, tetapi tetap memperhatikan asas-asas sosio-religio yang berkembang dalam masyarakat.
Penolakan atas Perpres Nomor 10, Tahun 2021, yang diteken Presiden Jokowi pada tanggal 2 Februari 2021, itu merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja.
Undang-Undang ini dibuat untuk memudahkan presiden membuat aturan apa pun, dan itu cukup lewat Perpres, tanpa melibatkan parlemen. Maka muncullah Perpres Nomor 10 itu. Dan tidak perlu kaget jika nanti muncul Perpres lainnya yang lebih kontroversial.
Memilih Diam
Diam itu emas. Ungkapan itu benar jika bicara hanya untuk menggunjing, atau bicara tidak ada juntrungannya. Maka daripada menggunjing, maka mengunci mulut untuk tidak berkata-kata yang tidak semestinya, itu bisa diserupakan dengan emas.
Tapi saat mulut mesti bicara, karena yang keluar dari mulut itu diharapkan sesuatu yang baik, maka bicara itu satu keharusan. Justru dengan diamnya, banyak kerugian yang akan didapat.
Umat memang sedang menanti Wapres Kyai Ma’ruf Amin bicara dengan Presiden Jokowi, agar Perpres yang dikeluarkan itu dibatalkan saja. Sebagai ulama yang paham betul bahaya miras sehingga diharamkan, pastinya ia akan bicara pada tataran itu.
Apa yang dibicarakan Kyai Ma’ruf dengan Presiden Jokowi, tentulah tidak perlu diekspose pada publik. Cukup bicara dalam sunyi, penuh nasihat, dan nantinya itu akan tampak bahwa pembicaraan telah terjadi, yang ditandai dengan dicabutnya Perpres itu.
Jadi tidak perlulah memaksa-maksa Kyai Ma’ruf untuk bicara lantang dengan suara menentang dan apalagi menantang kebijakan yang diambil Presiden Jokowi, itu mustahil bisa dilakukannya. Biarkan ia bicara dengan langgamnya. Berharap saja apa yang disampaikannya itu efektif. Bukankah yang terpenting itu hasilnya?
Baca: Badai Partai Demokrat Tidak Sekadar Mendongkel AHY, Lebih Jauh dari Itu
Wapres Kyai Ma’ruf Amin itu ulama yang punya integritas. Pada saatnya ia akan bicara tegas, jika itu menyangkut hal-hal prinsip keberagamaan. Mustahil ia mendiamkan kebijakan melegalkan investasi miras, yang itu jelas-jelas agama melarang dengan keras.
Karenanya, bersabarlah menunggu “gebrakan” Kyai Ma’ruf itu. Gebrakan dengan caranya, yang selalu halus dalam bertutur. Tapi sampai pada saatnya, pastilah ketegasan itu muncul. Itu bisa dilihat pada kasus Ahok yang menghina Q.s Al-Maidah 51, jelas-jelas Kyai Ma’ruf bersikap keras dengan mengatakan, bahwa apa yang dilakukan Ahok, itu jelas menghina agama.
Maka diamnya Wapres Kyai Ma’ruf Amin, itu diam tidak sesungguhnya. Ia tetap akan bicara pada Pak Jokowi, bahkan bisa jadi sudah bicara, tentu dengan caranya sendiri. Janganlah berharap Kyai Ma’ruf bisa berbicara lantang, seperti Ustad Tengku Zulkarnain, Ustad Abdul Shomad dan lainnya. Itu mustahil. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya