Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Perdebatan di masyarakat menjadi serius sejak pemerintah memutuskan melarang mudik lebaran 2021. Mudik kok dilarang, apa urusannya pemerintah melarang-larang seseorang yang akan melakukan mudik. Protes mereka yang tidak setuju dengan larangan mudik lebaran.
Sedang yang setuju, lagaknya seperti jubir pemerintah, lalu celoteh akan bahaya jika mudik itu dilakukan, dikhawatirkan menimbulkan klaster baru pandemi Covid-19. Lagak yang normatif, tapi memang benar sih. Itu jika melihat mudik dari satu aspek saja.
Mudik sudah menjadi semacam ritual tahunan, khususnya bagi umat Islam. Semacam forum silaturahim, guna merajut kebersamaan dalam sebuah keluarga besar. Bahkan, mampu merajut silaturahim yang lebih luas pada kerabat dan handai taulan.
Untuk bertemu pada waktu-waktu di luar lebaran, tampaknya sulit bisa terlaksana. Maka, mudik lebaran jadi waktu yang tepat menyatukan kebersamaan itu mewujud. Tak mungkin bisa tergantikan pada waktu-waktu di luar lebaran itu.
Mudik itu silaturahim, sebuah pertemuan fisikal, yang mustahil bisa digantikan dengan pertemuan secara virtual. Maka larangan mudik memakai indikator corona, tampak sarat dengan muatan pendangkalan nilai substansi dari mudik itu sendiri.
Mudik lebaran itu perpaduan tradisi, dan itu budaya, juga ajaran agama, setidaknya pada silaturahim, itu hal yang dianjurkan. Karenanya, mustahil bisa digantikan dengan pertemuan virtual, tanpa sungkem anak pada orang tuanya atau kerabat yang lebih tua.
Menjabat tangan kedua orang tua atau kerabat yang lebih tua, sambil mencium tangan yang sudah mengeriput, sungguh peristiwa tak tergantikan. Suasana psikologis yang dibangun sungguh tak ternilai.
Kebijakan pelarangan mudik lebaran, itu lalu menimbulkan pertanyaan kritis tapi wajar di tengah masyarakat. Kenapa kebijakan dibuat seolah selalu “merugikan” umat Islam.
Mengapa tidak dibuat saja jalan tengah, mengakomodir mudik namun dengan persyatatan prokes yang ketat. Regulasi untuk itu bisa dibuat dan diatur dengan sebaik-baiknya. Mestinya itu bisa, semacam pemerintah cakap membuat aturan pelarangan mudik.
Jika regulasi prokes itu dibuat, maka mustahil untuk tidak dipatuhi. Tidak seorang pun yang mudik tanpa persiapan kesehatan yang disyaratkan. Tidak ada yang mau gegabah mudik menemui orang tua tanpa persiapan kesehatan memadai.
Kebijakan yang Mendua
Wajar pertanyaan semacam itu muncul, karena kebijakan yang diambil pemerintah tampak bersikap mendua, itu dalam aturan prokes. Untuk mudik dilarang, tapi tidak pada sektor pariwisata, yang justru sedang digalakkan. Inilah kebijakan mendua, yang sulit bisa dijelaskan kecuali prasangka yang muncul, dan itu politis.
Pada mudik lebaran, justru kehati-hatian menjaga prokes itu lebih terjamin. Kehati-hatian untuk tidak sampai menularkan virus pada orang-orang terkasih di kampung halaman. Jika merasa sakit, maka pastilah mudik tidak akan dilakukan, meski persiapan sudah dipersiapkan dengan matang.
Jika kebijakan yang diambil pemerintah itu konsisten, dan pada semua aspek pelarangan itu diberlakukan, maka larangan mudik itu tidak menjadi masalah. Tidak dipertanyakan penuh sakwasangka, dan menjadi spekulasi di tengah masyarakat.
Inkonsistensi pemerintah menetapkan pelarangan mudik, tapi lalu menggalakkan pariwisata, ini yang sulit bisa dijelaskan. Meski argumen yang dibangun, agar ekonomi bisa tetap menggeliat, khususnya pariwisata, itu pun mudah disanggah.
Jika faktor ekonomi jadi alasan, maka mudik tidak kalah dibanding pariwisata. Mudik justru mampu menggeliatkan ekonomi dengan lebih luas. Sebaran ekonominya lebih merata dibanding pariwisata, yang terbatas.
Argumen pelarangan mudik itu tidak akan dipertanyakan dengan sumbang, jika kebijakan yang dibuat itu tidak lantas mendua. Melarang mudik, tapi menggalakkan pariwisata. Ini sih sama saja bo’ongan.
Setiap kebijakan mestinya dibangun atas asas keseimbangan, dengan memperhatikan sosio kultur dan psikologis yang berkembang dalam masyarakat. Jika tidak, maka efektifitas larangan itu menjadi diragukan… Wallahu a’lam. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya