Fenomena baru ini menjadikan komodifikasi hijab menjadi tantangan da’wah kontemporer yang harus segera ditanggulangi oleh para ulama dan da’i
Oleh: Muh. Nurhidayat
Hidayatullah.com | SEORANG Seorang perempuan berhijab yang juga istri ‘ustadz’ selebritis menjadi viral, setelah video goyangan sensualnya pada sebuah akun Tiktok disaksikan oleh jutaan warganet. Inilah fenomena baru komodifikasi hijab setelah 42 tahun?.
***
Ternyata tidak hanya satu video saja, perempuan tersebut telah meng-upload banyak video goyangan sensualnya yang direkam pada berbagai momen. Bahkan ada beberapa video yang di-upload menampilkan ia bergoyang duet bersama suaminya.
Apa yang diperbuat perempuan tersebut merupakan perilaku menyimpang (deviant behavior) yang melanggar semua norma, terutama norma agama. Bahkan perilaku menyimpang ini tergolong sebagai fenomena baru, yang beberapa tahun lalu tidak pernah dijumpai khalayak. Sebelumnya, tidak ada perempuan berhijab, apalagi istri seorang ‘ustadz’ yang bergoyang untuk dipertontonkan kepala khalayak.
Jangankan muslimah berhijab, beberapa tahun lalu seorang artis dangdut perempuan dikecam khalayak karena bergoyang sensual. Padahal dangdut sendiri identik sebagai aliran musik yang tidak dapat dipisahkan dari goyangan. Fenomena goyangan sensual artis dangdut itu sempat menghebohkan khalayak, yang pada akhirnya melatarbelakangi diwacanakannya pembuatan RUU Anti Pornogradi dan Pornoaksi. (Soemandoyo, 2004). RUU tersebut akhirnya benar-benar disahkan presiden Yudhoyono pada 2008.
Esensi hijab adalah menyembunyikan kecantikan tubuh muslimah, agar tidak dilihat oleh orang lain yang bukan mahram-nya. Lekuk-lekuk tubuh perempuan akan semakin mudah dilihat orang lain jika ia bergoyang, meskipun ia berbalut pakaian hijab.
Goyangan perempuan di hadapan khalayak adalah salah satu contoh perilaku menampakkan aurat yang dilarang agama. Allah subhanahu wata’ala. berfirman, “Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. an-Nur : 31)
Fenomena baru ini merupakan salah satu (di antara banyaknya) tantangan da’wah kontemporer yang harus segera ditanggulangi oleh para ulama dan da’i di Indonesia. Umat Islam, terutama para muslimah perlu dilindungi agar tidak ikut-ikutan berperilaku menyimpang tersebut.
Selain itu, perilaku menyimpang yang melecehkan hijab juga telah melukai perasaan para ulama dan da’i pada era pemerintahan Suharto, yang berjuang keras agar hijab tidak dilarang di Indonesia. Pada 1970 hingga akhir 1980-an, Islam dimarjinalisasi oleh Suharto.
Umat muslim saat itu dijadikan sebagai target stigmatisasi dan represivitas pemerintahan Suharto yang terkenal sebagai era orde baru. Umat muslim terpelajar yang aktif berdakwah dituduh sebagai gerakan subversif dan bahaya ekstrim kanan. (Husaini, 1997; Heryanto, 1999).
Salah satu bentuk represivitas Soeharto yang tidak dapat dilupakan sejarah adalah pelarangan hijab bagi siswi, mahasiswi, serta karyawati muslimah. Akibat pelarangan tersebut, banyak siswi yang dikeluarkan dari sekolah, mahasiswi yang dilarang kuliah, serta karyawati yang dipecat oleh kantornya, karena mereka berhijab.
Tidak sedikit di antara wanita berhijab yang dicemooh pejabat maupun pegawai pemerintah dengan olokan “fundamentalis”, “ekstrimis”, serta julukan-julukan buruk lainnya.
Setelah beberapa tahun berjuang, akhirnya para ulama dan da’i dari berbagai ormas Islam bisa berbahagia, karena larangan hijab akhirnya dicabut pemerintah pada 1990. Pesatnya perkembangan jumlah muslimah berhijab dipengaruhi oleh semakin maraknya dakwah dan tarbiyah yang diselenggarakan oleh berbagai ormas Islam, salah satunya Hidayatullah. (Shalbu, 2008; Utomo, 2018). Sejumlah media massa yang dikelola aktivis muslim, seperti Media Dakwah, Panji Masyarakat, dan Suara Hidayatullah juga turun memiliki ‘saham’ yang besar dalam memasyarakatkan hijab di Indonesia. (Nurhidayat, 2018).
Pada masa itu, penggunaan hijab besar, termasuk hijab bercadar turut dipopulerkan oleh sejumlah da’i muda yang kembali ke tanah air, setelah lulus dari berbagai perguruan tinggi Timur Tengah, seperti Hidayat Nur Wahid, Muh. Zaitun Rasmin, Bahtiar Nasir, dan lain-lain. Mereka dan para da’i muda alumni Timur Tengah lainnya aktif mendakwahkan keutamaan dipakainya hijab besar, termasuk hijab bercadar oleh para muslimah.
Kini hijab telah dipakai oleh banyak muslimah dari berbagai kalangan, bahkan menjadi budaya popular di Indonesia. Tentu saja fenomena ini sangat berpotensi untuk dikomodifikasi oleh para kapitalis yang hanya mengejar untung berlimpah, tanpa memperhatikan betapa besarnya bahaya yang mengancam kaum muslimah.
Salah satu market komodifikasi hijab yang dianggap prestisius adalah konten medsos. Sudah banyak muslimah berhijab yang menjadi korban dari komodifikasi tersebut, salah satunya adalah istri seorang ‘ustadz’ selebritis yang diceritakan di atas.
Komodifikasi Hijab
Komodifikasi hijab melalui konten medsos yang tidak mendidik, bahkan cenderung melecehkan kehormatan muslimah banyak dicontohkan sebebritis, termasuk selebritis bergelar ‘ustadz’. Jika dilihat dari bahasan ilmu syar’i dan ilmu sosial, para ‘ustadz’ selebiritis itu bukanlah ustadz beneran. Mereka hanyalah orang yang dianggap sebagai ustadz oleh khalayak, terutama para muslimah yang masih awam dalam agama.
Komodifikasi hijab dapat diartikan sebagai penyalahgunaan hijab untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memperhatikan bahaya yang nantinya akan
dialami muslimah sebagai konsumen, bahkan sebagai korban dari penyalahgunaan tersebut.
Istilah komodifikasi sendiri dapat diartikan sebagai proses pengubahan nilai guna menjadi nilai tukar suatu produk. Nilai produk yang semula hanya ditentukan berdasarkan kemampuan dalam memenuhi kebutuha primer individu, menjadi ditentukan berdasarkan faktor-faktor lainnya seperti citra yang melekat pada produk yang dijual. (Mosco, 2009).
Ketenaran para ‘ustadz’ selebritis di media massa maupun medsos telah menimbulkan destruksi ke-faqih-an, yang dapat diartikan sebagai penghancuran nilai-nilai ke-faqih-an di tengah khalayak.
Ke-faqih-an dikenal sebagai pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran Islam. Seseorang dikatakan sebagai “faqih” ketika ia mengetahui, memahami, dan tentu saja melaksanakan ajaran Islam dengan baik. Hijab tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam secara umum. Sehingga seorang yang faqih tentu dikenal mengetahui, memahami, serta melaksanakan aturan tentang hijab dengan baik.
Contoh destruksi ke-faqih-an dalam masalah hijab adalah kasus perempuan berhijab, istri seorang ‘ustadz’ selebritis yang meng-upload video goyangan sensualnya ke Toktok, yang kemudian viral dan disaksikan oleh jutaan warganet laki-laki dan perempuan. Tentu saja hampir semua warganet laki-laki tersebut bukanlah mahram si perempuan, sehingga diharamkan melihat tubuh, apalagi goyangan sensual perempuan itu.
Destruksi ke-faqih-an ini, entah disadari atau tidak oleh ‘ustadz’ selebritis, merupakan bentuk diyatsyah, yaitu hilangnya rasa cemburu di hati seorang lelaki musim terhadap kehormatan dan terbukanya hijab di dalam keluarganya. Seorang lelaki berlaku diyatsyah digelari sebagai dayyuts, yangdivonis secara tegas tidak akan masuk surga, (Al Munajjid, 1999).
Rasulullah ﷺbersabda, “Tiga (jenis) manusia yang diharamkan oleh Allah (memasuki) surga: (yaitu) peminum khamr, pendurhaka (kepada orangtuanya), dan dayyuts.” (HR. Bukhari)
Adanya diyatsyah ini selain karena kebodohan, juga dilakukan demi viral di medsos. Komodifikasi hijab, termasuk hijab istri sendiri pun dilakukan agar disaksikan banyak orang, serta mendapatkan banyak like maupun subscribe, yang ujung-ujungnya bisa menghasilkan banyak transfer-an honor dari provider medsos.
Inilah bisnis konten medsos yang kini banyak digandrungi generasi milenial.
Komodifikasi hijab harus diberantas karena merugikan para muslimah berhijab. Para muslimah berhijab harus diberi taushiyah, agar mereka tidak ikut-ikutan meng-upload video maupun foto mereka di medsos, apalagi tampilan seperti goyang sensual yang melanggar semua norma di masyarakat.
Lagipula, muslimah berhijab lah yang menjadi korban utama dengan diunggahnya video maupun foto mereka di medsos. Tanpa sadar hijab dan tampilan tubuh mereka dikomodifikasi dalam budaya viral. Meskipun ketika viral mereka mendapatkan transfer-an honor dari provider di internet, namun pada hakikatnya mereka diperlakukan sebagai objek fetish, pelecehan, dan kejahatan seksual. (Sunarto, 2009).
Dalam teorinya tatapan lelaki (male gaze), artis perempuan atau perempuan yang foto maupun videonya ditampilkan di media, akan selalu menjadi korban scopophilia, yaitu insting lelaki yang menjadikan perempuan sebagai objek tontonan erotis untuk ‘kesenangan’ pandangan lelaki. (Mulvey dalam Nurhidayat, 2016).
Scopophilia direalisasikan dalam bentuk fetitisme, yaitu propaganda yang membujuk perempuan dicitrakan memiliki krindahan tubuh, sehingga perempuan merasa puas dan bangga atas dirinya sendiri ketika foto maupun videonya tampil di media. Dan mereka tidak dasar telah diesploitasi secara seksual. (Mulvey dalam Nurhidayat, 2016).
Komodifikasi hijab, terutama komodifikasi oleh para selebitis, juga oleh selebritis bergelar ‘ustadz’ harus diberantas melalui pengaktivan dakwah dan tarbiyah di tengah khalayak luas. Sebab para selebritis adalah public figure, sehingga segala pikiran, ucapan, dan perilaku mereka meskipun nyeleneh dan merugikan, akan dengan mudah diikuti oleh khalayak yang menjadi penggemarnya, terutama dari kalangan perempuan awam dalam beragama.
Penggencaran aktivitas dakwah dan tarbiyah ini dapat disinergikan antar ormas maupun lembaga Islam, sehingga nantinya akan diperoleh hasil maksimal. Dakwah dan tarbiyah yang tersinergi merupakan strategi efektif dan efisien untuk menghadapi tantangan kontemporer di Indonesia maupun mancanegara. Sinergi yang terstuktur rapi seperti ini telah diajarkan oleh agama Islam. (Achmad, 1995).
Allah subhanahu wata’ala berfirman, yang artyinya; “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. ash-Shaf : 4).
Salah satu tantangan dakwah kontemporer di Indonesia dan mancanegara adalah maraknya komodifikasi hijab melalui konten medsos yang kini digandrungi generasi milenial. Kaum muslimah berhijab perlu dilindungi oleeh berbagai komponen umat Islam gar mereka tidak menjadi korbankomodifikasi maupun korban fenomena male gaze, yang menghancurkan kehormatan mereka.
Untuk memberantas fenomena komodifikasi hijab, dibutuhkan penggiatan dakwah dan tarbiyah yang tersinergi antar berbagai komponen umat Islam. Wallahua’lam.*
Guru SMA Al-Quran Wahdah Islamiyah Cibinong, Bogor