Lanjutan artikel PERTAMA
Oleh: Anhvinh Doanvo
Dengan status tidak adanya perjanjian dengan Arab Saudi, rakyat Suriah yang berada di Arab Saudi justru disebut sebagai “saudara Arab yang sedang mengalami kesusahan” bukan lagi “pengungsi” sebagaimana yang disebut oleh PBB.
Menurut Nabil Othman, perwakilan UNHCR untuk kawasan Teluk, ada sekitar 500.000 pengungsi Suriah di Arab Saudi saat ia mengeluarkan pernyataannya.
Pemerintah Arab Saudi sendiri juga menyatakan bahwa lebih dari 5 tahun terakhir –semenjak dimulai adanya konflik di Suriah– telah menerima 2,5 juta pengungsi. [baca: Peta Pengungsi Suriah: Mayoritas Mengungsi ke Negara Arab, Sebagian Kecil ke Eropa [1]]
Karena perjanjian yang tertulis menetapkan perawatan standar bagi para pengungsi, mungkin ada yang penasaran mengenai kondisi kehidupan para pengungsi yang berada di Arab Saudi.
Bagaimanapun, Al-Arabiya, kantor berita yang berpusat di UEA, telah mencatat bahwa “penguasa Arab Saudi telah memberikan rakyat Saudi hak tempat tinggal dan pekerjaan, juga menyediakan fasilitas pendidikan untuk mereka dan layanan kesehatan secara gratis.”
Bahkan menurut Pemerintah Saudi, ada lebih dari 100.000 anak pengungsi sedang mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah negara tersebut. Baca: Al Watan: Pengungsi Suriah di Arab Saudi ada 2,5 Juta]
Arab Saudi tidak sendiri dalam menyediakan fasilitas pendidikan untuk para pengungsi, Libanon sekarang juga melakukan hal yang sama, menyediakan pendidikan bagi 100.000 anak-anak pengungsi lainnya.
Aksi diam terhadap isu ini, telah mengalihkan pembicaraan pada suatu hal yang sangat tidak masuk akal daripada mencoba memverifikasi ulang perlakuan Arab Saudi terhadap para pengungsi Suriah.
Dengan fokus kepada mitos yang dengan mudahnya tidak merasa curiga, bahkan juga tidak sekedar mengecek sekilas pada prosedur PBB mengenai publikasi statistik para pengungsi, organisasi media-organisai Barat telah terbutakan untuk setidaknya memeriksa klaim ‘nol pengungsi’ dari Arab Saudi.
Keseluruhan masalah ini menjadi gambaran perkembangan media di era modern yang menyedihkan, di mana –bahkan kesalahpahaman yang amat aneh pun– menjadi sasaran empuk debat politik mainstream.
Lelucon hak asasi manusia tentang Suriah dan Eropa tidak perlu pernyataan yang berlebihan. Respon menyedihkan dari Merkel, Cameron, Eropa Timur tidak bisa dimaafkan oleh kebohongan ini. Ia hanya akan menodai reputasi organisasi yang dielu-elukan sedunia seperti Brookings Institution dan Amnesty International.
Klaim tersebut adalah birtherisme terhadap kebijakan politik pengungsi. Dan inilah saatnya kita menaruh setidaknya dengan sedikit usaha menetapkan suatu kondisi dengan tepat langsung dari akarnya.*
Penulis asisten riset Global Initiative untuk Rakyat sipil dan Daerah konflik. Tulisan dimuat di laman www.huffingtonpost.com, Rabu, (23/09/2015)