Oleh: Kholili Hasib
SELAMA dua bulan ini, terdapat dua kasus penistaan agama yang dua-duanya memicu kekisruhan. Pertama, kasus Sampang II. Bentrok Sampang merupakan kelanjutan pertikaian Sampang I pada Desember 2011. Perselisihan warga Ahlus Sunnah dan Syiah bermula dipicu dakwah Tajul Muluk yang mengina sahabat Nabi. Kedua, film “Innocence of Muslims” dari Amerika Serikat. Film ini memancing demo besar-besaran di seluruh dunia.
Sam Bacile, sutradara film anti-Islam “Innocence of Muslims”, telah memicu amarah umat Islam di seluruh dunia. Film yang kabarnya disokong oleh 100 donatur Yahudi menggambarkan sosok Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pria hidung belang dan pendusta.
Demo makin membesar di Negara-negara Muslim setelah dikabarkan, Sam Bacile dibebaskan kepolisian California Amerika Serikat. Ia hanya dimintai keterangan atas film tersebut. Tentu saja, amarah umat Islam tak terbendung. Tuntutan umat Islam satu; Bacile dikhukum mati.
Catatan-cataan penodaan terhadap Islam sudah banyak. Semuanya memicu bentrok dan konflik. Sebelum “Innocence of Muslims”, film “Fitnah” yang disutradarai Geert Wilders, politisi Belanda, yang menggambarkan Islam sebagai agama kekerasan dan ancaman bagi Barat, menuai protes keras. Pernah seorang penganut Syiah, Ghulam Akbar, dikecam habis-habisan oleh Muslim Pakistan karena mengucapkan kata-kata hinaan terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Untuk mengantisipasi terulangnya penghinaan dan bentrokan, Ghulam akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh Pakistan.
Menanggapi pelecehan terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam, Presidan Susilo Bambang Yudoyono menilai bahwa tindakan pelecehan terhadap agama harus dihentikan karena menyebabkan konflik. “Jika hal-hal itu (pelecehan terhadap agama, pen) terus dibiarkan, maka akan menyulut konflik dan bentrok”, ujar Presiden SBY pada Musyawarah Besar NU di Cirebon, Senin 16/10/2012.
Meski telah banyak Negara-Negara yang memiliki undang-undangan anti-penodaan, namun tidak semua pelaku pelecehan agama dihukum sesuai dengan undang-undang. Wilders dan Bacile adalah di antara contohnya. Pembiaran inilah yang memicu konflik. Apalagi, jika Negara tidak memiliki peraturan anti-penodaan agama.
Tentu yang harus dipahami dari serangkaian kasus penistaan terhadap agama tersebut, adalah perlunya penegakan undang-undang anti-penistaan agama.
Hamid Fahmi Zarkasyi menulis dalam Misykat ;”Kebebasan berpendapat dapat dilindungi dan dibela, tapi pada satu titik tertentu memang tidak dapat lagi. Titik batasnya dengan gambling disampaikan Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr. Ia menyatakan bahwa proteksi terhadap kebebasan berbicara yang paling ketat sekalipun tidak dapat melindungi seseorang yang bohong berteriak kebakaran dalam sebuah gedung bioskop dan mengakibatkan kepanikan. Dalam bahasa agama, orang bisa melindungi kebebasan bicara tapi tidak bisa melindungi kebebasan menista agama.”
Jadi, kebebasan menodai agama, tidak mendapat perlindungan hukum. Sebab, akan memicu konflik sosial. Maka, peraturan anti-penodaan agama harus ditegakkan di negeri ini.
Dalam konteks hukum Islam, hukuman bagi penista Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah hukuman mati. Imam Qadhi Iyadh menjelaskan dalam al-Syifa, bahwa hukuman mati tersebut merupakan ijma’ ulama.
Qadlhi Iyadh menulis: “Ketahuilah bahwa siapa saja yang menghina Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam, merendahkannya, menisbatkan dengan sifat-sifat yang merendahkan pribadinya, merendahkan agamanya, menghina tingkah lakunya, atau menyerupakan dengan sesuatu yang buruk dan tidak pantas, maka hukumannya adalah mati” (Al-Syifa bi Thariqi Huquqi al-Musthofa, II/130-131).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah bersabda: “Barangsiapa menghina Nabi, maka bunuhlah, dan barangsiapa menghina sahabatku maka pukullah.” (HR.Husein bin Ali dalam al-Syifa). Qadhi Iyadh mengatakan bahwa riwayat hadis ini shahih.
Hukuman mati bukankah kekerasan atau anarkisme. Tapi hukuman tersebut merupakan usaha prefentif dari bentrok sosial.
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa bukan hanya penista Nabi yang dihukum, tapi juga penodaan terhadap ajaran Nabi dan para sahabatnya. Hanya, hukuman terhadapa penghina sahabatnya adalah dengan didera. Meski begitu menurut Qadhi Iyadh, baik penghina Nabi, ajaran ataupun para sahabatnya disebut sebagai orang terlaknat. Dalam satu keterangannya, mereka dilaknat oleh para malaikat dan semua manusia pada hari kiamat nanti. Dalam konteks hukum, para pencaci sahabat juga kategori melakikan tindak penistaan agama yang mesti dijerat hukuman.
Terkait dengan pernyataan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam hanya bersabar terhadap para penghinanya, Qadhi Iyadh memberi keterangan. Bahwa, sikap Nabi itu terkait dengan strategi beliau pada era awal-awal Islam. Kebijakan itu merurut Imam Iyadh terkhusus pada awal kemunculan Islam yang tidak boleh diterapkan pada masa ini.
Artinya, umat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam sekarang, tidak boleh diam, tapi harus memprotes keras terhadap penodaan terhadap kesucian Nabi.
Maka, undang-undang penodaan agama sangat dibutuhkan. Undang-Undang No. 5/1969 tentang pelarangan penistaan agama harus ditegakkan. Untuk menghindari chaos, dan memelihar toleransi beragama, harus ada undang-undang untuk melindungi umat mayoritas dari rong-rongan pelecehan. Baik pelaku pelecehan terhadap Nabi maupun terhadap sahabat Nabi, harus ditindak secara hukum. Jika tidak, konflik dan sengketa antar golongan terus terjadi. Seperti kata Presiden SBY, jika penodaan terus dibiarkan, konflik tidak akan berhenti.*
Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya