Dari Arab ke Latin
Proses yang sama terjadi di Eropa pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi. Karya-karya ilmuwan Muslim dalam pelbagai bidang telah diterjemahkan secara massif ke dalam bahasa Latin yang hingga abad ke-18 merupakan lingua franca sekaligus bahasa agama dan ilmu pengetahuan. Ceritanya bermula dari Perang Salib yang berlangsung antara 1096 hingga 1192 Masehi dan Reconquista (perebutan kembali Andalusia oleh orang Kristen) yang terjadi antara tahun 790 hingga 1300 Masehi. Hubungan diplomatik dan konflik militer ini dibarengi dengan kontak intelektual dan kultural antara orang Eropa yang waktu itu masih terbelakang dan biadab dengan orang-orang Islam yang hidup makmur, terpelajar dan cemerlang di segala bidang ilmu pengetahuan. Tak heran jika kemudian orang-orang Eropa merasa perlu mempelajari buku-buku ilmiah yang ditulis orang Islam. Seperti kata Edward Grant, mereka tidak punya pilihan lain kecuali menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa yang mereka pahami, yaitu Latin. Sebab, kalau tidak begitu, niscaya mereka bakal terus-menerus berada di dalam jurang kebodohan:
“Latin scholars in the 12th century recognized that all civilizations were not equal. They were painfully aware that with respect to science and natural philosophy, their civilization was manifestly inferior to that of Islam. They faced an obvious choice: learn from their superiors or remain inferior forever. They chose to learn and launched a massive effort to translate as many Arabic texts into Latin as was feasible. Had they assumed that all cultures were equal, or that theirs was superior, they would have had no reason to seek out Arab learning and the glorious scientific history that followed might not have occurred.”(Lihat: The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge, 1996), 206)
Kasus cukup menarik bisa kita lihat pada Adelard Bath (hidup antara 1080-1150 M), yang kini dijuluki ‘ilmuwan pertama Inggris’ (the first English scientist)–jauh sebelum Boyle dan Newton. Adelard lahir dan dibesarkan pada zaman dimana kaum bangsawan Inggris memperoleh pendidikan dan pengajaran dari guru-guru privat alias tutor, kalau bukan dari sekolah-sekolah yang ber-afiliasi ke gereja setempat. Itu pun paling banter hanya sampai tingkat menengah. Adapun untuk tingkat yang lebih tinggi, maka mereka harus merantau ke Paris, Roma, Toledo atau bahkan Timur Tengah. Tak terkecuali Adelard.
Dikisahkan bahwa ia membawa serta murid-muridnya untuk melanjutkan pelajaran mereka di Laon, sebuah kota kecil di timur-laut Paris yang dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan tinggi waktu itu. Ia sendiri kemudian pergi mengembara sampai ke Antioch (Syria), Tarsus (Turki) dan Sicily (Itali)–yang hingga tahun 1072 masih termasuk wilayah Islam, dalam rangka menimba ‘ilmu orang-orang Arab’ (studia Arabum).
Ketika tujuh tahun kemudian Adelard pulang ke England dan bertemu lagi dengan mantan muridnya tamatan dari Laon, ia menyimpulkan kalau dibandingkan dengan ilmu orang Arab, maka ilmu orang Perancis itu ketinggalan jauh, beku dan bikin otak tumpul. “Satu pelajaran penting yang kudapat dari guru-guruku orang Arab: jadikan akal sebagai pemandu. … Apa gunanya kita punya otak, kalau tidak bisa berpikir sendiri?! (I have learned one thing from my Arab masters: with reason as guide. … So what is the point of having a brain, if one does not think for oneself?),” tukasnya. Dan ternyata Adelard bukan satu-satunya orang yang menilai kaum Muslim saat itu lebih maju dan lebih tinggi peradabannya.
Peter Abelard, teolog masyhur yang hidup sezaman dengannya pun berkesimpulan sama. Baginya, Islam itu identik dengan rasionalitas dan toleransi. Maka ketika ditekan lantaran kasus hubungan gelapnya dengan puteri seorang petinggi gereja, ia pun sempat mengancam akan pindah agama atau kabur ke negeri orang Islam yang dikenal berpikiran terbuka lagi toleran. Mirip dengan kasus Henry II, raja England, beberapa tahun sesudahnya (yaitu pada 1168), yang juga mengancam akan masuk agama Sultan Nuruddin Zangi, penguasa Aleppo, jika Paus di Roma enggan mencopot Thomas Becket dari jabatan Kepala Uskup (Archbishop) England waktu itu.
Menyadari betapa penting ilmu pengetahuan bagi setiap masyarakat yang ingin maju, kaum terpelajar seperti Adelard pun berinisiatif melakukan penerjemahan, baik secara perorangan maupun bersama. Ia sendiri mengalih-bahasakan karya geometri Euclid dan tabel astronomi al-Khwarizmi dari Arab ke Latin. Diriwayatkan bahwa Gerbert Aurillac (945-1003) yang belakangan menjadi Paus (Sylvester II), sempat mengembara ke wilayah utara Spanyol untuk belajar matematika, astronomi dan cara-cara menggunakan astrolabe yang dibuat kaum Muslim. Kemudian, masih di abad yang sama, seorang intelektual yang hanya dikenal sebagai Constantinus dari Carthago, Afrika Utara, telah memboyong buku-buku berbahasa Arab karya Hunayn ibn Ishaq, ‘Ali ibn ‘Abbas dan Ibn al-Jazzar dalam bidang kedokteran untuk diterjemahkannya ke dalam bahasa Latin.
Namun, proyek penerjemahan secara besar-besaran dan lebih terencana dikerjakan di Toledo, sebuah kota kecil di wilayah tengah Spanyol. Di sana Dominicus Gundisalvi, ketua gereja setempat yang hidup sampai tahun 1190, bersama cendekiawan Gerard de Cremona (1114-1187) melatinkan kitab-kitab rujukan penting berkenaan psikologi, metafisika, logika, geometri, fisika, astronomi dan kedokteran.
Selain mereka juga aktif sejumlah pakar seperti Abraham ibn Dawud (Avendauth), John dari Seville, Hermannus Alemannus dari Carinthia, Alfred Shareshill, dan Michael Scot.
Pengalih-bahasaan ini didorong oleh sejumlah faktor, antara lain semangat memburu ilmu para pelakunya, permintaan dari golongan terpelajar dari kalangan gereja maupun istana, disamping anjuran para pemuka agama Kristen agar masyarakat disuguhi bahan bacaan berbahasa Latin sebagai pengganti literatur Arab.
Gerakan penerjemahan ini belakangan diperkuat dengan keikutsertaan John Salisbury, Robert Ketton, Peter Alphonsi dan banyak lagi pada abad selanjutnya. Informasi lengkapnya dapat kita ikuti dalam: Ferdinand Wüstenfeld, Die Übersetzungen arabischer Werke in das Lateinische seit dem XI. Jahrhundert (Göttingen, 1877) dan Marie-Thérèse d’Alverny, La transmission de textes philosophiques et scientifiques au Moyen Age (Aldershot, 1994). */bersambung tulisan kedua: “..orang-orang Yahudi menjadi sumber rujukan dan banyak menolong mereka menerjemahkan ulang kitab-kitab Ibn Sina, al-Ghazali dan Ibn Rusyd..”
Penulis adalah Associate Professor CASIS-UTM Malaysia