oleh: Dr. Bagus Riyono
SEJARAH metode ilmiah bermula pada abad ke 8, yaitu pada masa Ibn al-Haytham, seorang cendekiawan muslim yang, seperti layaknya cendekiawan pada masa itu, memiliki keahlian dalam berbagai bidang ilmu (seorang polymath).
Sebagai seorang muslim yang taat beliau resah dengan perpecahan yang terjadi pada masyarakat Islam pada waktu itu, terutama antara kaum Sunni dan Syiah. Al-Haytham yang menguasai filsafat dan ilmu fiqh berusaha untuk mendamaikan kelompok Sunni dan Syiah pada jamannya. Singkat cerita usahanya tersebut gagal.
Al-Haytham menyimpulkan bahwa kalau kita ingin mencari kebenaran kita tidak dapat mengandalkan opini, karena opini manusia itu sangat lemah dan subjektif.
Oleh karena itu kemudian beliau memikirkan suatu metode untuk mencari kebenaran yang sedapat mungkin terbebas dari opini subjektif manusia. Semangat untuk mencari kebenaran ini diyakini oleh Al-Haytham sebagai bentuk usahanya untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Benar, Al Haq, yaitu Allah.
Pada saat Al-Haytham dipenjara oleh penguasa Mesir karena kesalahpahaman, beliau mendapat pencerahan untuk memikirkan fenomena cahaya. Apakah cahaya itu? Bagaimana sifat-sifatnya? dan bagaimana kita bisa menjelaskan fenomena penglihatan yang terkait dengan dinamika cahaya?
Pada masa itu ada dua teori megenai cahaya dan penglihatan yang saling bertentangan, yaitu teori Aristoteles dan Teori Ptolemy dan Euclid.
Menurut Aristoteles, kita dapat melihat suatu benda karena esensi materi dari benda tersebut merasuk ke dalam mata kita. Dengan masuknya esensi materi dari benda tersebut, maka mata kita dapat melihat benda tersebut.
Al-Haytham berpikir bahwa teori Aristoteles ini tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat diukur. Al-Haytham adalah juga seorang ahli matematika yang memiliki keyakinan bahwa sesuatu dapat dikatakan ilmiah jika dapat diukur atau dijelaskan dengan logika matematik.
Teori kedua, yang dikemukakan oleh Ptolemy dan Euclid, mengatakan bahwa fenomena penglihatan terjadi karena mata kita memancarkan cahaya sehingga menerangi benda yang kita lihat. Kita hanya melihat benda yang berada di depan mata kita, artinya cahaya dari mata kita berjalan lurus ke depan menyinari benda di depan mata kita sehingga kita dapat melihatnya.
Sekilas nampaknya teori ini lebih meyakinkan dan sudah menggunakan penjelasan geometris (salah satu cabang dari matematika), berupa perjalanan cahaya dalam garis lurus.
Namun Al-Haytham masih belum puas dengan penjelasan ini, karena jika memang mata kita memancarkan cahaya, mengapa kita merasa silau dengan cahaya terang? Selain itu bagaimana teori ini dapat menjelaskan penglihatan kita terhadap bulan yang sedemikian jauh? Apakah cahaya yang keluar dari mata kita dapat menjangkau bulan? Jika iya mengapa pada malam hari ketika kita melihat bulan, sekitar kita tetap gelap?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong Al-Haytham untuk melakukan percobaan-percobaan dengan cahaya. Inilah pertama kalinya dikenal metode eksperimen dalam dunia ilmu pengetahuan.
Setelah melakukan berkali-kali percobaan dengan cahaya, termasuk dengan mendesain dan menciptakan camera obscura, sebuah prototype dari mata kita, akhirnya Al-Haytham merumuskan teori cahaya yang menjadi dasar bagi ilmu fisika optik sampai dewasa ini.
Teorinya menjelaskan bahwa cahaya berjalan lurus dan memantul setiap kali mengenai benda, dengan arah pantulan yang memiliki sudut tertentu sesuai dengan kemiringan permukaan benda yang memantulkannya. Ketika kita melihat suatu benda, yang terjadi adalah, pantulan cahaya dari benda tersebut masuk ke dalam mata kita melalui lubang kecil ditengah pupil mata kita.
Ada benda yang menjadi sumber cahaya, seperti api dan matahari, namun kebanyakan benda hanyalah memantulkan cahaya yang berasal dari sumber cahaya tersebut, termasuk bulan.
Teorinya juga menjelaskan bahwa cahaya akan berbelok atau mengalami refraksi, ketika melewati air atau benda lain yang memiliki kepadatan tertentu. Al-Haytham dengan teori refraksi cahayanya juga menjelaskan fenomena cahaya senja dan cahaya fajar, yaitu fenomena ketika langit terang walaupun matahari belum terbit atau sudah terbenam di bawah cakrawala.
Dalam bab terakhir dari bukunya “Kitab al-Manazir” (Book of Optics), buku pertama yang melaporkan penelitian eksperimental dengan penjelasan yang sangat detil, Al Haytham menuliskan sebuah pesan yang sangat penting bagi prinsip dan hakekat “science” sampai dengan saat ini.
Pesan tersebut kurang lebih berbunyi sebagai berikut:
“Jangan Anda percaya pada kesimpulan saya mengenai teori cahaya ini. Silahkan Anda buktikan sendiri dengan melakukan eksperimen seperti yang sudah saya jelaskan secara detil di dalam buku ini!.”
Sampai saat ini kita menjadi saksi atas kebenaran teori cahaya dari Al-Haytham tersebut. Teorinya mengenai refraksi telah mengilhami Isaac Newton dalam merumuskan teori tentang spektrum cahaya, yang di kemudian hari digunakan oleh Hubble sebagai metode untuk mengukur jarak bintang-bintang di alam semesta.
Metode penelitian yang dilakukan Al-Haytham telah menjadi tonggak sejarah sebagai metode ilmiah yang pertama kali, sehingga Al-Haytham diberi julukan sebagai “The First Scientist”.
Apa yang mendorong Al Haytham untuk menemukan metode ilmiah ini? Beliau menulis dalam autobiografinya, sebagai berikut:
“Saya terus-menerus mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran, dan akhirnya menjadi keyakinan saya bahwa untuk dapat mendekatkan diri pada Allah, tidak ada jalan yang lebih baik kecuali dengan terus mencari ilmu dan kebenaran.”
Demikianlah sejarah penemuan metode ilmiah (Science) yang berasal dari semangat seorang Muslim untuk mendekatkan diri pada Allah. Dan demikianlah seharusnya metode ilmiah yang sesuai dengan ajaran Islam.
Namun mengapa sekarang orang sering mempertentangkan ilmu dan agama? Mengapa orang beranggapan bahwa metode ilmiah tidak dapat dicampuradukkan dengan keyakinan agama? Mengapa umat Islam sendiri banyak yang “alergi” dengan metode ilmiah?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu dapat dijelaskan melalui sejarah peradaban bangsa Barat, yang dewasa ini menguasai kehidupan dunia secara hegemonik.
Korupsi Science
Bangsa Eropa yang pada masa Al-Haytham berada dalam Jaman Kegelapan mendapatkan akses kepada ilmu pengetahuan melalui Perang Salib. Tokoh-tokoh cendekiawan bangsa Eropa, seperti Roger Bacon dari Inggris misalnya, belajar dari Al-Haytham, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali dan sebagainya, kemudian menulis buku-buku mengenai ilmu pengetahuan dalam bahasa mereka.
Namun karena hubungan antara bangsa Eropa dan peradaban Islam pada waktu itu dalam kondisi bermusuhan, maka mereka tidak mencantumkan sumber-sumber bacaan mereka yang notabene berasal dari “musuh”. Bahkan nama-nama Arab para cendekiawan Muslim disamarkan dengan nama Latin, misalnya Al-Haytham diganti menjadi Alhazen, Ibn Sina menjadi Avicenna, Ibn Rusyd menjadi Averroes, dan Al-Ghazali menjadi Algazel.
Pencerahan dari para cendekiawan Eropa yang dapat dikatakan sebagai “plagiat-plagiat“ tersebut kemudian mendorong gerakan Renaissance, yang menjadi awal dari kebangkitan peradaban Barat-Eropa.
Di samping itu, gerakan Renaissance juga bersamaan dengan gerakan sekulerisme yang memisahkan diri dari kekuasaan gereja sebagai representasi dari agama.
Gerakan sekulerisme ini beranggapan bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang terpisah dari dogma-dogma agama. Sebagai konsekuensinya para penganut sekulerisme kemudian cenderung untuk mengingkari Tuhan, atau paling tidak menjauhkan diri dari Tuhan dengan anggapan bahwa manusia dapat mengurusi dirinya sendiri tanpa campur tangan Tuhan.
Dengan semangat tersebut kaum sekuler menggunakan science sebagai “senjata” untuk “menguasai dunia”, tidak lagi sebagai jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Kesombongan mereka tersebut mewujudkan diri dalam bentuk penjajahan atas bangsa-bangsa Timur yang berhasil mereka taklukkan, melalui kekuatan persenjataan dan science yang telah disalahgunakan menjadi “senjata pemusnah massal”.
Generasi berikut dari negara-negara terjajah tersebut akhirnya belajar ilmu pengetahuan (Science) dari para penjajah yang telah mendistorsi semangat dan prinsip-prinsipnya.
Science menjadi alat untuk “menguasai alam semesta”, tidak lagi sebagai jalan suci untuk mendekatkan diri pada Allah Subhanahu Wata’ala melalui penghayatan terhadap ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam semesta.
“Korupsi” terhadap science inilah yang perlu dikoreksi. Islamisasi science adalah mengembalikan science sebagai jalan suci untuk mencari kebenaran.
Untuk dapat melakukan Islamisasi science, kita harus membersihkan niat kita dan memulai penjelajahan ilmiah kita dari inspirasi Al Qur’an. Islamisasi science berarti kita kembali pada semangat asal science dengan mewarisi semangat Tauhid Al-Haytham, the first scientist.*
Untuk dapat melakukan Islamisasi science, kita harus membersihkan niat kita dan memulai penjelajahan ilmiah kita dari inspirasi Al Qur’an. Islamisasi science berarti kita kembali pada semangat asal science dengan mewarisi semangat Tauhid Al-Haytham, the first scientist.*
Penulis dosen UGM, presidium Gerakan Indonesia Beradab (GIB)