Oleh: Ady C. Effendy
TERDAPAT perkembangan menarik belakangan ini di tanah air, mulai dari reshuffle kabinet kerja dibawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga pemanasan pilkada DKI Jakarta yang telah memunculkan nama incumbent dan pengusaha muda muslim.
Perkembangan luar negeri juga tidak kalah cepat yang bahkan mungkin melampaui kemampuan kita untuk menalar dan menganalisa apa yang sebenarnya berlangsung.
Satu point yang ingin disorot dalam tulisan kali ini adalah semangat kontribusi pemuda-pemudi muslim terhadap kemajuan peradaban kemanusiaan.
Sosok Arcandra Tahar, menteri ESDM terbaru, mungkin yang salah satu yang paling menyita publik tanah air belakangan ini baik media mainstream ataupun media sosial. Kombinasi sosok relijius sebagai guru mengaji dan prestasi akademis dan professional dunia kerja terkombinasi dalam dirinya.
Membaca berbagai komentar positif dan euforia umat Islam di media-media sosial ataupun situs-situs berita Islam, seakan dapat dibaca bahwa umat merindukan sosok yang membanggakan dari sisi agamis dan akademis. Kerinduan ini mungkin berangkat dari sedikit banyak ‘stagnansi’ yang dirasa dalam bingkai keumatan.
Membandingkan kemajuan Indonesia dengan kemajuan negeri tetangga di Asia seperti Malaysia, terlebih lagi Jepang, Korsel, dan China, langkah kemajuan sepertinya berjalan lambat.
Ketidaksebandingan pun mungkin dirasa bila melihat pengalaman Jerman di Eropa, sebuah negeri yang seperti halnya Jepang mengalami kekalahan dalam PDII dan sempat terpecah menjadi Jerman Barat dan Timur di tahun 1949 sebagai implikasi dari Perang Dingin AS dan Uni Soviet.
Jerman baru bersatu kembali di tahun 1990. Membandingkan usia kemerdekaan tanah air dan pengalaman negeri-negeri ini kita berandai kapankah kemajuan peradaban kita bisa sejajar dengan negeri-negeri tersebut. Tulisan ini tidak mengimplikasikan keputusasan sebaliknya mengajak umat untuk berfikir dan merenungkan kembali konsep keislaman bernama fardhu kifayah.
Tidak zamannya lagi waktu umat disibukkan dengan debat teologis terkait berbagai kewajiban fardhu ‘ain di dunia maya, yang sudah seharusnya usai dengan penunaiannya atau setidaknya dikaji secara objektif ilmiah secara akademis.
Energi positif umat harus mulai diarahkan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang ‘masih langka’ dalam personal-personal umat. Meskipun telah ada satu dua orang diantara umat Islam Indonesia yang menguasai berbagai cabang disiplin ilmu namun jumlahnya tentu jauh dari mencukupi untuk memungkinkan kebangkitan peradaban dan teknologi.
Telah masyhur di dalam Sirah Nabawiyah bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam menempatkan sahabat-sahabat pada pos-pos penting dengan kepakarannya masing-masing, sebutlah kisah Zaid bin Tsabit ra sekretaris pribadi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang belajar bahasa asing dalam waktu singkat, ataupun Ja’far bin Abi Talib ra yang menyaingi Amr bin Al-Ash ra dalam kepakaran diplomasi, begitupula tentunya kepakaran manajerial dalam diri Khulafaur rosyidin ra. dan intelektualitas Ali bin Abi Talib ra.
Setelah masa salafus sholih ini, kekhilafahan umat pun tidak kurang dari pakar-pakar di berbagai bidangnya suatu yang menopang kemegahan peradaban Islam masa pertengahan.
Meneladani semangat sahabat ra dan ilmuwan-ilmuwan Islam abad pertengahan pemuda-mudi muslim masa kini mestilah dipompa semangatnya agar mau mengerahkan energi dan akal fikirannya untuk mempelajari ilmu-ilmu langka dan tidak lagi sekedar bercita menjadi karyawan atau pegawai. Karena jumlah penguasaan fardhu kifayah sulit mencapai titik ketercukupan apalagi titik jenuh, oleh karenanya idealisme inilah yang mestinya ditularkan ke dalam diri segenap umat.
Sebuah ayat yang sering dikutip dalam menerangkan kewajiban fardhu kifayah adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala sebagai berikut:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Menafsirkan ayat ini, Prof. Zuhaili menjelaskan bahwa kewajiban perang adalah fardhu kifayah dan akan gugur bila telah dilaksanakan oleh sebagian, ia menjadi fardhu ‘ain hanya bila Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam terjun langsung dalam peperangan.
Menuntut ilmu agama juga merupakan sebuah fardhu kifayah agar terdapat jumlah yang memadai untuk memperingatkan kaumnya ketika telah kembali. (Tafsir Al Munir, Juz 11 hal 78, cet. Darul Fikr).
Sebagaimana halnya ilmu-ilmu syari merupakan fardhu kifayah maka demikian pula ilmu-ilmu umum penopang kehidupan (seperti matematika, sains, kedokteran, ilmu sosial dan lainnya) tergolong dalam fardhu kifayah.
Mengingat kurangnya jumlah penguasaan ilmu-ilmu fardhu kifayah dan belum tersedianya ‘ladang yang subur dan bersih dari hama’ fokus umat mestilah diarahkan untuk mengisi pos-pos fardhu kifayah yang terbengkalai hingga memadai.
Pentingnya fardhu kifayah ini membuat Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Al Majmu’ Sharhul Muhazzab mengutip pandangan Imam Al Haramain rahimahullah yang bahkan menyatakan bahwa: “Fardhu kifayah lebih memiliki keutamaan daripada Fardhu ‘Ain karena orang yang memenuhi fardhu kifayah menutupi kebutuhan umat sehingga jatuhlah dosa dari seluruh umat sedangkan fardhu ‘ain hanya khusus menyangkut diri seseorang saja.”(Al Majmu’ Syarh Almuhazzab, Juz 1 hal. 22).*
Penulis adalah kandidat doktor, pemerhati peradaban dan agama