Para ulama yang mengamalkan ilmu tasawuf tetap menjaga kemurnian ajaran Islam, berpendapat bahwa cara hidup tasawuf membuat pelakunya selalu dilindungi Allah
Oleh: Bahrul Ulum
Hidayatullah.com | SAAT ini terjadi pro kontra mengenai ilmu tasawuf di kalangan kaum Muslimin. Sebagian menganggap tidak ada gunanya mempelajari ilmu tersebut, sedang yang lainnya menganggap penting.
Golongan pertama berpendapat, mempelajari ilmu tasawuf hanya akan membuat orang terjatuh pada perbuatan syirik. Sedang kelompok kedua berpendapat tidak ada masalah mempelajari ilmu tasawuf yang sesuai dengan nilai-nilai syariah Islam.
Meski terdapat pro dan kontra terhadap ilmu ini, setidaknya tidak ilmu ini tidak bisa dinafikkan sebagai peninggalan tradisi Islam pada masa kejayaannya. Sudah lazim, ilmu apapun, termasuk ilmu tasawuf terdapat penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Dalam hal ini Imam Syafii sebagaimana yang dinukil oleh Imam Baihaqi menyatakan bahwa jika seorang menganut ajaran tasawuf pada awal siang hari, tidak datang waktu Dzuhur kepadanya melainkan dia menjadi dungu.
Menurut Imam Baihaqi yang dimaksud Imam Syafi’i yaitu orang-orang yang mengaku sufi namun hanya mencukupkan dengan “nama” saja sementara tidak paham makna intinya, mereka hanya mementingkan catatan tanpa mendalami hakekatnya. Mereka hanya duduk dan tidak mau berusaha sehingga menyerahkan kebutuhan hidupnya pada orang lain.
Mereka juga tidak peduli dengan orang-orang Islam dan tidak pernah menyibukkan diri dengan mencari ilmu dan ibadah. Adapun orang sufi yang menjalankan syari’ah dengan benar serta bermuamalah dengan manusia dengan baik, itulah kaum sufi yang benar. Dengan mereka inilah Imam As Syafi’i bergaul dan mengambil ilmu. (Al-Manaqib Al-Imam As-Syafi’i li Al-Imam Al-Baihaqi, 2/207).
Para ulama yang mengamalkan ilmu ini dengan tetap menjaga kemurnian ajaran Islam berpendapat bahwa cara hidup tasawuf adalah sikap yang membuat pelakunya selalu merasa dilindungi oleh Allah yang akan menimbulkan perasaan damai karena hidup tanpa diburu oleh kehidupan duniawi.
Sedang orang yang berlindung kepada selain Allah berarti bernaung dalam perlindungan yang paling rapuh, seperti rapuhnya jaring laba-laba. Suatu saat ia akan jatuh dan terluka. Bagi siapa saja yang memburu kehidupan dunia, pada dasarnya ia sedang diburu oleh keduniawian, kaena itu tasawuf adalah solusi kebahagiaan abadi bagi manusia.
Di antara kitab yang membahas masalah tasawuf di antaranya, Risalah al-Qusairiyah karya Syaikh Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi (w. 465 H / 1073 M), Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, serta Al Hikam karya Ibnu Athailah.
Ilmu tasawuf merupakan salah satu peninggalan khasanah Islam yang sampai sekarang masih hidup di tengah-tengah umat Islam. Ia adalah cabang ilmu dalam Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual.
Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih mengedepankan aspek rohaninya dari pada aspek jasmaninya. Ia lebih menekankan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia yang fana.
Menurut para ulama, ilmu ini berfungsi untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, dalam rangka memporoleh kebahagian yang abadi.
Dengan ilmu ini seseorang akan belajar bagaimana berperilaku yang selalu diridhai Allah melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tassawuf dimulai sebagai ilmu, tengahnya adalah amal, dan akhirnya adalah karunia ilahi.
Kemunduran ilmu tasawuf
Menurut sejarah, orang yang pertama kali memakai kata “sufi” adalah Abu Hasyim al Kufi dari Iraq (w. 150 H). Sedangkan menurut Abdul Qosim Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Talha bin Muhammad al Qusyairi (376-465 H), istilah ”tasawuf” telah dikenal sebelum tahun 200 H.
Namun sebenarnya pada abad ke 2 Hijriyah itu belum diketahui adanya orang-orang yang disebut sufi, tapi yang ada adalah aliran zuhud (penganutnya disebut zahid). Tokoh-tokohnya di antaranya al Hasan al Basri, Abu Hasyim al Kufi, Sufyan as Sauri, Fudail bin Iyad, Rabi’ah al Adawiyah dan Makruf al Karkhi.
Tujuan para zahid ini menurut penilaian para ahli, tidak lain dari terciptanya kehidupan yang diridhai oleh Allah di dunia sehingga di akhirat terlepas dari azab neraka dan memperoleh surga-Nya. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap kehidupan mewah para khalifah dan keluarga serta pembesar–pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia.
Para ahli sufi ini melihat perbedaan besar antara kehidupan Rasul dan sahabat yang sederhana dengan para khalifah tersebut. Ketika itu para penguasa Islam hidup bermewah-mewahan dan hanya sebagian kecil yang hidupnya sederhana dan bersahaja.
Kehidupan yang zahid ini mendapat respon positif dari masyarakat sehingga jika ada tokoh zahid mereka sangat dihormati. Pada abad ketiga istiah zahid berubah menjadi istilah tasawuf.
Umat Islam mulai mengenal istilah tasawuf secara luas. Meskipun demikian, para ahli sejarah menilai bahwa sulit membedakan antara kezuhudan dan kesufian karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini adalah orang–orang zuhud.
Oleh sebab itu mereka lebih layak dinamai zahid daripada sebagai sufi. Pada abad ini perkembangan tasawuf begitu pesat.
Hal ini ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang pada masa itu. Mereka membaginya ke dalam tiga macam, yakni, tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, ilmu akhlaq dan metafisika.
Tokoh-tokoh sufi pada masa ini di antaranya; Abu Sulaiman Ad-Daaraany, Ahmad bin Al-Hawaary Ad-Damasqiy, Abul Faidh Dzuun Nun bin Ibrahim Al-Mishry. Kemudian pada abad keempat ilmu tasawuf mengalami perkembangan yang pesat.
Ini disebabkan masing-masing tokoh sufi mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Tokoh-tokoh sufinya antara lain Musa Al-Anshaary, Abu Hamid bin Muhammad, Abu Zaid Al-Adamy, Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab.
Pada abad kelima hijriyyah terjadi titik rawan di kalangan kelompok tasawuf karena muncul Syiah ismaa’iliyah yang hendak mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap bahwa dunia ini harus diatur oleh imam, karena dialah yang langsung menerima petunjuk dari Rasulullah saw.
Sedang pada abad keenam terdapat tokoh tasawuf yang berpengaruh yaitu Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy dan Al-Ghaznawy. Sedang abad ketujuh ada beberapa ahli tasawuf yang berpengaruh yaitu Umar Abdul Faridh, Ibnu Sabi’iin, Jalaluddin Ar-Ruumy.
Namun mulai abad kesembilan ajaran tasawuf kehilangan daya tarik. Selain tidak ada tokohnya yang berpengaruh, kaum Muslimin juga dijajah oleh bangsa Eropa yang beragama Nasrani.*
Sekretaris MIUMI Jawa Timur