Sambungan artikel PERTAMA
Dalam Islam, ilmu ada dua, fardhu ain dan fardhu kifayah. Fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib bagi tiap-tiap individu muslim mengetahuinya. Mencakup ilmu yang berkenaan dengan i’tiqad (keyakinan). Ilmu-ilmu yang menyelamatkan dari keraguan (syakk) iman. Tujuan ilmu ini untuk menghilangkan kekeliruan iman, dan bisa membedakan antara yang haq dan bathil.
Dimensi lain – dari ilmu fardhu ‘ain – adalah ilmu-ilmu yang berkenaan dengan perbuatan yang wajib dilaksanakan. Misalnya, orang yang akan berniaga wajib mengetahui hukum-hukum fiqih perniagaan, bagi yang akan menunaikan haji wajib baginya memahami hukum-hukum haji. Hal yang sama juga untuk ilmu-ilmu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang harus ditinggalkan seperti sifat-sifat tidak terpuji dan lain-lain.
Sedang ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam fardhu kifayah, kesatuan masyarakat Islam secara bersama memikul tanggung jawab kefardhuan untuk menuntutnya (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin jilid 1).
Problem yang patut mendapatkan perhatian serius adalah soal sekularisasi dan adab. Banyak pakar, dan pelaku pendidikan belum sepenuhnya sadar akan hal ini. Padahal, masalahnya sangat serius.
Prof. Muhammad Naquib al-Attas mengingatkan seriusnya masalah ini. Masalah pendidikan yang terjadi di dunia Muslim menunjukkan bahwa masalah itu berakar pada faktor luar (khariji) dan faktor dalam (dakhily).
Faktor luar disebabkan oleh tantangan agama, budaya dan sosiopolitik yang berasal dari kebudayaan Barat. Sedangkan faktor dalam tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu dan aplikasinya, kehilangan adab (loss of adab) dan munculnya pemimpin yang tidak layak memikul tanggungjawab secara benar dalam segala bidang (Wan Mohd Nor Wan Daud,Falsafah dan Amalan Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi, hal. 136).
Faktor luar itu berupa sekularisasi. Nasib agama di negara-negara Barat yang sekular biasanya memprihatinkan. Rumah ibadah ditinggalkan, lembaga pendidikan tidak memasukkan agama sebagai unsur utama. Bahkan, dimusuhi. Atribut agama dilarang dipakai di sekolah.
Sekularisme tidak sesuai dengan undang-undang pendidikan Nasional. Karena ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003 bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam rumusan UU Sisdiknas misalnya, telah disebutkan bahwa pendidikan bersifat integral antara aspek keimanan dan ketaqwaan, akhlak, pengetahuan kecakapan, kreatifitas, dan kemandirian. Kata kunci dalam rumusan ini adalah iman dan takwa. Sedangkan paham sekularisme tidak mendasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan cenderung ditarik kepada ateisme.
Pendidikan Nasional kita masih belum bebas dari paham sekularisme itu. Buktinya, pelajaran agama nasibnya masih menjadi suplemen tambahan. Jika pun jama belajarnya ditambah, konsepnya tetap sama, ilmu umum tingkatnya lebih tinggi daripada ilmu agama.
Di sekolah-sekolah umum, sepulang sekolah, pelajar banyak pergi ke tempat les matematika, fisika, kimia, bahasa Inggris dan lain-lain. Jarang, orang tua siswa menghantarkan anaknya les atau kursus bahasa Arab, kursus ushul fiqih, kursus tafsir – hadis, kursus tazkiyatun nafs dan lain-lain. Andaikan pun dibuka kursus semacam ini, nasibnya tidak seramai kursus ilmu umum. Pun, orang tua lebih memilih les bahasa, sains dan lain-lain daripada dikirim belajar ke Madrasah Diniyah, meskipun tahu anaknya belum bisa mengaji. Padahal, di Madrasah Diniyah pelajar tidak hanya diajari hukum ibadah, tetapi tauhid dan disiplin akhlak.
Selain salah menempatkan ilmu, juga ada pandangan umum masih dikotomis, antara ilmu agama dan ilmu umum. Kesan yang kuat, ilmu agama dan sains (alam dan humaniora) merupakan ilmu yang tidak berkait rapat. Di universitas-universitas Islam pun berlaku dikotomi ilmu ini.
Sekularisasi, dengan meremehkan ilmu agama itu, membuahkan adab yang buruk di kalangan pelajar. Free seks, minum-minuman keras, perjudian, dan budaya hura-hura serta hedonis. Bagaimana menangkal budaya buruk ini bila belajar agama diremehkan bahkan dinafikan?
Karena itu, sekolah-sekolah Islam tidak cukup membanggakan bila hanya pelajar diajari hafal al-Qur’an dan shalat berjamaah saja. Tetapi, disiplin fikirnya harus diajarkan secara kuat. Khususnya, sebagai persiapan pelajar memasuki dunia perguruan tinggi. Apa yang menjadi tantangan pelajar di universitas, itu yang harus disiapkan bekalnya di sekolah menengah.
Bekal disiplin pikiran harus disiapkan secara serius, karena tantangan di perguruan tinggi sangat berat. Banyak pelajar yang baik, tetapi begitu masuk universitas menjadi rusak. Disebabkan pengaruh sekularisasi yang sangat kuat. Ketika di SMA hafal al-Qur’an, tetapi di universitas meyakini hubungan sejenis itu hak asasi manusia. Dia sekedar hafal, tetapi ilmunya yang salah. Masalah besar dan seriusnya di sini.
Sekolah perlu memperhatikan, status keislaman bukan sekedar hafal al-Qur’an dan rajin shalat. Amaliyah dzahir ini sesungguhnya tidak sulit diajarkan. Tetapi, lebih dari itu, disiplin pikiran yang harus kuat. Pelajar harus yakin dengan agama Islam-nya, bangga dengan Allah dan Nabi-Nya, bahwa jalan selamat itu hanya dengan mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan dengan jalan lain, al-Qur’an itu murni kalam Allah, dan memahaminya harus merujuk kepada ulama yang otoritatif, dan lain-lain.
Maka, bila peduli dengan adab pelajar, maka selayaknya masalah serius ini patut menjadi agenda nasional.*
Dosen Institut Agama Islam Darullughah Wadda’wah Bangil Indonesia, anggota MIUMI Pusat