Oleh: Ahmad Kholili Hasib
KETETAPAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, yang akan menerapkan lima hari sekolah (Senin-Jum’at) dengan penambahan jam belajar menjadi 8 jam yang menuai kontroversi akhirnya dibatalkan oleh Presiden Joko Widodo pada 19 Juni 2017.
Sebelumnya, pro-kontra mengenai kebijakan Mendikbud yang tidak lama dilantik itu mengemuka setiap hari menghiasi media massa. Khususnya mengenai status pendidikan agama Islam dalam peraturan ini. Masyarakat yang kontra peraturan ini mengkhawatirkan tentang status pendidikan agama siswa.
Sementara itu, Menristek Dikti (Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi), Muhammad Nasir, memerintahkan pada seluruh rektor perguruan tinggi agar memindahkan mata kuliah umum Pendidikan Agama. Dari semula ada di semester awal menjadi di semester akhir perkuliahan.
Dalam penjelasannya, Muhammad Nasir menjelaskan alasannya yaitu menciptakan kristalisasi pengetahuan dan mengurangi pengaruh paham radikalisme mahasiswa.
“Saya akan perintahkan para rektor, mata kuliah umum (MKU) Pendidikan Agama jangan ditawarkan di semester satu, tapi di semester tujuh, agar tercipta kristalisasi pengetahuan yang dimiliki akan lebih baik lagi, agar anak-anak mahasiswa fokus dulu di bidang pengetahuan dan teknologi, di akhir pengendapan dengan pendidikan agama, nanti saya akan minta bantuan Polri agar mahasiswa juga tidak terjebak dalam Radikalisme,” ujar Nasir saat menghadiri deklarasi Konsorsium PTN (Perguruan Tinggi Negeri) Kawasan Timur Indonesia Menolak Paham Radikalisme di Universitas Hasanuddin, Makassar (detik.com Jumat 16/6/2017).
Dua kebijakan Menteri tersebut menggulirkan isu tentang pendidikan agama Islam. Pantas saja menimbulkan ‘kegaduhan’ di masyarakat. Persoalan yang menjadi keributan adalah, posisi pendidikan agama untuk siswa dan mahasiswa. Persoalan lainnya adalah kekhawatiran tingkat tinggi terhadap sebuah paham radikalisme.
Kebijakan Menristek Dikti tersebut jelas keliru menempatkan pendidikan agama. Kesannya, ilmu agama ada di level bawah. Logika belajar yang akan dijalankan adalah, mempelajari ilmu pengetahuan (sains, humaniora dan teknologi) terlebih dahulu, baru kemudian belajar agama. Padahal, porsi ilmu pengetahuan jauh lebih besar dari pada pendidikan agama yang hanya 2 sks.
Dengan logika belajar ini, maka agama tidak lagi dijadikan dasar, pondasi, dan pokok dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Padahal, agama itu dasar dari segala hal dalam hidup ini. Termasuk dalam berilmu pengetahuan. Terlebih, banyak teori-teori ilmu pengetahuan modern yang memerlukan klarifikasi, khususnya yang cenderung kepada sekularisme. Maka, yang tepat, belajar ilmu tauhid dahulu yang kuat kemudian mempelajari teori-teori modern itu.
Ilmu itu ada yang pokok dan ada yang cabang. Ilmu pokok diperdalam kemudian ilmu-ilmu cabangnya. Seperti menanam pohon. Akar rumbinya harus kuat, supaya pohon yang ditanam tegak berdiri. Apalagi pohon tersebut besar yang memiliki cabang dan ranting yang besar pula. Pohon mangga besar pasti akan roboh bila ia tidak memiliki akar-akar besar. Maka, menanam ilmu, akarnya harus lebih kuat dan besar.
Baca: Penjelasan Kemendikbud Soal Pendidikan Agama di Sekolah
Padahal, ilmu yang membahas tentang konsep Allah Swt, sifat-sifat-Nya, asma dan af’al-Nya (nama dan perbuatan-Nya), mengetahui perintah dan larangan-Nya, dan ilmu-ilmu berkaitan dengan akhirat merupakan pokok dan inti ilmu-ilmu pengetahuan (ashlul ‘ulum wa lubabuha) (Abdullah bin Alwi al-Haddad, Fushulul Ilmiyah, hal. 45). Ilmu jenis ini wajib dipelajari di awal belajar, bukan suplemen dan bukan ilmu ekstra.
Artinya, ada kesan kebijakan tersebut adalah ilmu pokok dan inti dianggap pelengkap. Itu pun, diyakini, mata kuliah agama Islam di akhir semester tersebut tidak banyak mempelajari ashlul ‘ulum itu. Kemungkinan kajiannya seputar sub-sub tema yang tujuan fungsionalnya hanya mengurangi radikalisme.
Kesan lainnya, agama tidak terlalu begitu penting di tingkat pendidikan tinggi. Fungsinya juga agak aneh, yakni untuk menangkal paham radikalisme. Masalah besar para mahasiswa itu adalah ideologi sekularisme dan liberalisme. Saya yakin sekali, mahasiswa yang menganut ideologi sekularisme-liberalisme jumlahnya lebih besar daripada mahasiswa yang menganut radikalisme.
Maka, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 mengeluarkan fatwa haramnya ideologi liberalisme ini. Kasus-kasus mahasiswa yang menghina Tuhan, menghina al-Qur’an, seks sesama jenis (homo dan lesbi), dan lain-lain semuanya kerap terjadi di kalangan mahasiswa. Oknum mahasiswa yang melakukan keburukan ini bersumber dari paham liberalisme itu.
Karena itu patut diperhatikan, belajar agama itu kewajiban individual (fardhu ain), tujuannya untuk menjadi manusia yang baik, yang diridhai Allah Swt. Karena itu tiap Muslim haram meninggalkan pelajaran agama, khususnya pokok-pokoknya.
Makanya, dalam tradisi Islam, pertama-tama anak-anak diajari tauhid, akidah dan pondasi keyakinan. Ilmu ini biasanya dikategorikan ushul al-din (pokok agama). Di pesantren dan Madrasah Diniyyah, kitab Aqidatul Awam menjadi kitab yang wajib dipelajari oleh pelajar pemula. Isi kitab ini tentang tauhid dan kaidah-kaidah yang bisa menjadi pondasi beragama seorang Muslim.* (BERSAMBUNG)