Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Hidayatullah.com-Memasuki akhir tahun seperti sekarang selalu saja muncul fenomena tahunan yang terus berulang di negeri ini. Fenomena apakah itu? Yaitu masalah tarik ulur toleransi. Seperti jamak diketahui bahwa Desember selalu identik dengan “festival toleransi” semu ala kaum liberal. Dimana mereka selalu tampil di garda terdepan dalam memeriahkan acara Natal bersama maupun doa lintas agama di malam akhir tahun.
Dan seperti biasa pula di waktu itu fatwa/imbauan ulama (MUI) selalu menjadi bahan olokan bagi mereka yang selalu mengaku sebagai kaum paling toleran. Imbauan haram MUI dalam masalah doa lintas agama dan yang sejenisnya selalu dianggap sebagai bentuk intoleransi tahuhan.
Kini, Desember belum pula ditapaki namun negeri ini sudah dibuat gaduh oleh hal yang sama, masalah toleransi. Seperti diketahui bahwa MUI Jawa Timur pada 08 November 2019 telah mengeluarkan imbauan dengan tajuk Tausiyah MUI Provinsi Jawa Timur Terkait Dengan Fenomena Pengucapan Salam Lintas Agama Dalam Sambutan-Sambutan Di Acara Resmi. Keputusan MUI Jatim bernomor surat 110/MUI/JTM/2019 yang diteken oleh Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori itu merujuk pada hasil Rakernas MUI Pusat pada 11-13 Oktober 2019 di Nusa Tenggara Barat, yang bisa disimpulkan bahwa MUI Jatim mengimbau kepada umat Islam terutama pada para pemangku kebijakan agar dalam pembukaan suatu acara pemerintahan hendaknya menggunakan kalimat Salam yang sesuai agamanya yang bagi umat Islam cukup kalimat “Assalamu’alaikum Wr. Wb.” agar terhindar dari syubhat yang bisa merusak kemurnian akidah agamanya.
Pro kontra kemudian muncul. Terutama dari kalangan politisi dan pejabat negara. Mereka menyatakan bahwa imbauan MUI itu tidak bisa diterapkan di Indonesia yang penduduknya heterogen. Seperti Wali Kota Surabaya Tri Risma Harini yang mengatakan bahwa imbauan MUI Jatim itu tak bisa dia lakukan sebab warganya heterogen. Kemudian ada lagi Ganjar Pranowo yang menyatakan bahwa ada hal yang lebih substantif daripada mempertentangkan pengucapan salam kebinekaan itu seperti bagaimana menjaga keutuhan NKRI. Bahkan Gubernur Jateng itu berani mengatakan bahwa semua salam itu sama dan tak perlu dipertentangkan (http://nasional.tempo.co/read/1270903/ganjar-ada-yang-lebih-substantif-dari-pertentangkan-salam).
Pernyataan Ganjar Pranowo itu jelas adalah pengejawantahan dari SEPILISME (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme) yang mana ciri khas utamanya adalah “penyatuan” akidah dari semua agama yang berbeda. Salam yang dalam Islam adalah salah satu bentuk ibadah karena ada makna doa di dalamnya hendak disamakan dengan salam dari agama lain yang jelas berbeda makna dan tujuannya. Inilah bedanya ulama dan politisi dalam menyikapi masalah yang berbau akidah. Jika para umara’ bisa dengan enteng menyikapi masalah ini, tidak demikian halnya dengan para ulama. Karena mereka memiliki ilmu dan tanggung jawab di depan Allah Subhanahu Wata’ala.
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
“Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An Nur 24: 15)
Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.
Baca: Terima Kasih MUI Jatim
Sikap Umat Islam
Di dalam Hadits Rasulullah ﷺ bersabda,
« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ »
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim no.7673)
Ulama besar Syafi’iyyah, Imam An Nawawi Rahimahullah dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, “Ini semua merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah ﷺ juga bersabda,
« مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ »
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.” (HR: Bukhari dan Muslim).
Hari ini banyak kita saksikan begitu banyak tokoh yang tak ada otoritas ilmu berfatwa semaunya atau sesuai pesanan pemilik kepentingan. Mereka mengentengkan syariat agamanya hanya demi dalih menjaga toleransi. Padahal Islam adalah agama paling toleran di dunia. Namun Islam memagari setiap sesuatu agar tidak keluar jalur. Karena apa yang berlebihan menurut Islam maka itu artinya telah keluar dari jalur keselamatan Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Bergaullah dengan segala manusia, tapi agamamu jangan dirusakkan” (HR. Bukhori).
Bertoleransi kepada non Islam ada kaidah dan jalurnya. Islam tidak melarang bermuamalah sosial, politik, budaya, dan kemanusiaan dengan umat lain namun prinsip keislaman tetap wajib dijaga. Jika baik katakan baik jika haram katakan haram. Jangan abu-abu. Jangan hipokrit. Jangan jadi bunglon sebab Allah Subhanahu Wata’ala mewanti-wanti, “Janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang baik itu, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS: Al-Baqarah : 42).
Menyikapi Imbauan MUI Jatim
Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan agar kita taat pada-Nya, Rasul-Nya dan Ulil Amri. Ulil Amri di sini haruslah umara’ yang kebijakannya sesuai arahan ulama. Sebab ulama adalah pewaris (ilmu) Nabi ﷺ. Maka keputusan Ulama yang bernaung dalam MUI Jatim haruslah kita taati. Terutama di akhir zaman di mana fitnah kepada akidah semakin menjadi. Tugas Ulama adalah menjelaskan kepada umat mana yang halal mana yang haram dan mana yang syubhat.
Dari Nu’man Bin Basyir bahwa Rasul ﷺ bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Namun ada di antara keduanya syubhat (sesuatu yang samar halal dan haramnya). Kebanyakan manusia tidak tahu yang syubhat itu. Barangsiapa yang memelihara diri dari yang syubhat maka bersihlah agama dan kehormatannya. Tetapi siapa yang jatuh pada yang syubhat maka dia telah jatuh pada yang haram…”
Menurut Ar Raghib Al Ashfihani dalam Kitab Al Mufradaat Fie Gharibil Qur’an,” Al Futyaa dan Al Fatwa ialah memberikan jawaban tentang hukum suatu masalah yang musykil (samar).”
Hal ini senada dengan Syaikh Muhammad Jamaluddin Al Qosimi dalam tafsirnya “Mahaasinit Ta’wil” juz 5 dan Syekh Thantawi Jauhari dalam Tafsirnya “Al Jawahir” juz 3 yang menyatakan
اَلۡاِفۡتَاءُتُبۡيِيۡنُ الۡمُبۡهَمِ
“Memberikan fatwa itu ialah menjelaskan perkara yang (hukumnya) samar.”
Jadi tugas MUI Jatim sudah sangat benar. Perkara umat mau patuh atau tidak itu urusan mereka dengan Allah Subhanahu Wata’ala. Jikalau dalam salam lintas agama ini alasan agar kerukunan tetap terjaga, nampaknya pendapat itu harus ditinjau ulang. Sebab jika ditelusuri salam lintas agama ini pun baru beberapa tahun populer.
Dari 7 Presiden baru Presiden Jokowi yang mengawali “tradisi” salam semua agama dalam pidato-pidatonya yakni dimulai pada 20 Oktober 2014 pasca dilantik sebagai Presiden (http://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/kumparannews/siapa-saja-presiden-ri-yang-mengucap-salam-semua-agama-1sEVyVJUxpt).
Apakah enam Presiden sebelumnya dikatakan tidak toleran meski tak pakai salam lintas agama? Nyatanya tidak. Maka dalih menjaga kerukunan (kemaslahatan) adalah hal yang jelas dipaksakan.
Sebagai penutup, kami kutipkan hasil Munas MUI Tahun 2005 Keputusan Fatwa MUI Nomor : 6/MUNAS VII/MUI/10/2005 kriteria Maslahat poin kedua yang menyatakan bahwa “Maslahat yang dibenarkan oleh Syariah adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan Nash. Oleh karena itu, maslahat tidak boleh bertentangan dengan nash.”
Begitu banyak cara bertoleransi. Maka tempuhlah cara tasamuh yang tidak mengotori akidah dan juga tetap bisa menjaga Bhineka Tunggal Ika. Kami yakin pasti banyak caranya. Wallahu A’lam.*
*Penulis adalah Santri Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan