Oleh: Kholili Hasib
Hidayatullah.com | FAHAM sekularisme telah masuk ke berbagai bidang kehidupan manusia modern. Karena itu, kita gagal melahirkan individu-individu yang baik dan pemimpin yang baik dalam berbagai bidang.
Demikian disampaikan oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, atau akrab disapa Prof. Wan, dalam ceramah bertajuk “Jalan Keluar dari Kemelut Pemikiran dan Peradaban Umat”, pada Rabu 30 Desember 2020 melalui dalam kajian Akhir Tahun yang dilaksanakan secara daring.
Prof. Wan merupakan ilmuan terkemuka tingkat dunia yang telah bertahun-tahun merenungi persoalan pemikiran umat Islam. Sejak beliau membantu Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Prof. Al-Attas) membangun kampus International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Kuala Lumpur Malaysia, sebuah kampus yang pernah menjadi kebanggan dunia Islam di abad modern.
Sejak mendampingi Prof. Al-Attas itu, Prof. Wan meneleiti dan menghasilkan karya-karya penting yang dibaca oleh para sarjana Muslim. Salah satu buku penting beliau adalah berjudul Falsafah dan Amalan Pendidikan Syed M Naquib al-Attas. Buku ini, antara lain menjelaskan salah satu jalan keluar dari kemelut yang dialami umat Islam modern.
Prof. Wan sebagaimana telah juga ditulis oleh Prof. Al-Attas, mengatakan jalan keluar umat Islam atas semua kemelut ini sudah ada. Jalan keluar ini telah juga diamalkan oleh Nabi kita. Pendidikan yang membangun manusia melalui worldview yang benar. Demikian ditegaskan oleh Prof. Wan sebagai saluran keluar dari krisis besar umat Islam di abad ini. Jangan lupa meneladani para ulama-ulama besar dahulu yang berhasil membangun pendidikan yang melahirkan manusia-manusia yang hebat.
Bagaimana cara Imam al-Ghazali membina manusia yang baik, itulah yang mesti dicermati oleh para sarjana Muslim sekarang. Prof. Al-Attas pernah mengingatkan pada sidang internasional tentang pemikiran Imam al-Ghazali di ISTAC, bahwa kondisi masalah umat Islam pada saat ini hampir sama dengan dengan kondisi yang dialami umat Islam pada masa Imam al-Ghazali. Karena itu, menurut Prof. Al-Attas, karya-karya Imam al-Ghazali harus menjadi rujukan, tumpuan dan dasar dalam menyelesaikan masalah-masalah umat Islam sekarang.
Jika Imam al-Ghazali mengoreksi pemikiran sampai melahirkan karya Tahafut Falasifah, kemudian beliau merumuskan bagaimana membina manusia yang baik dengan menulis kitab agung berjudul Ihya’ Ulumuddin. Berarti, tahap pertama yang harus dilakukan umat Islam sekarang adalah koreksi dan mengidentifikasi, kemudian memformulasi pemikiran worldview Islam dalam pendidikan.
Identifikasi dan koreksi itu ditujukan terhadap faham sekularisme yang saat ini menjadi faham filsafat. Umat Islam harus bisa mengidentifikasi gejala-gejala sekularisme dalam berbagai bidang kehidupan. Jika telah ditemukan, maka harus dikoreksi.
“Kekeliruan yang sangat dahsyat sekali saat ini adalah faham sekularisme”, kata Prof. Wan. Peringatan Prof. Wan kali ini harus benar-benar dicermati oleh para sarjana dan ulama, khususnya di Indonesia. Munculnya sarjana-sarjana Muslim yang mengkaji al-Qur’an dan hadis dengan framework sekular itu kekeliruan yang serius yang diakibatkan oleh sekularisme sebagai paham filsafat diterima dengan lapang dada di perguruan tinggi Islam.
Akibat dari kajian al-Quran dan hadis dengan kerangka berifkir sekular itu maka lahir pemikiran aneh yang jauh dari agama dan nilai-nilai etika bangsa dari kalangan lembaga Islam sendiri. Maka kita harus mengoreksi diri, bagaimana bisa seorang sarjana membolehkan kawin sesama jenis, mencampur adukkan ajaran-ajaran agama, dan lain-lain.
Semua itu bermuara dari pengkajian Islam tetapi dengan kerangka berfikir sekularisme. Dengan demikian, kekeliruan umat Islam zaman ini adalah kesalahan yang sistematik. Program sekularisasi telah menjadi sistem ilmu pengetahuan.
Sekularisme sebagai program filsafat sesungguhnya mengancam semua agama di dunia. Harvey Cox (1929) – pelopor sekularisasi Eropa – menyatakan bahwa masa modern adalah zaman yang tidak ada agama sama sekali, oleh karenanya perlu dijelaskan bagaimana berbicara Tuhan tanpa agama (Tuhan sekuler). Dengan teori inilah, akhirnya pandangan sekularis (penganut teologi sekuler) tentang Tuhan berbeda sama sekali dengan konsep ketuhanan dalam Islam.
Maka, imbas dari gerakan sekularisasi adalah peminggiran peran Tuhan dalam kehidupan manusia. Ludwig Feurbach (1804-1872), salah seorang tokoh sekulerisme Barat, dalam The Essence of Christinity secara lugas menyatakan bahwa agamalah yang sebenarnya menyembah manusia (religion that worships man), bukan sebaliknya. Pendapat Feurbach ini kemudian diikuti oleh Harvey Cox yang meyakini manusia sebagai pemegang otoritas dalam beragama. Baginya, manusia adalah fokus dalam teologi. Maka ia mengusulkan agar konsep Tuhan perlu dimanusiawikan dan diduniawikan.
Prof. Al-Attas dalam bukunya Islam dan sekularisme telah menulis persoalan ini sejak empat puluh tahun yang lalu. Dalam bukunya ini, Prof. Al-Attas menceritakan bagaimana nasib agama Kristen di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 tidak berdaya menghadapi gempuran sekularisme.
Para teolog-teolog terkemuka Kristen Eropa di abad itu sesungguhnya jauh-jauh hari mengingatkan akan bahaya faham ini bagi agama. Tetapi karena tidak berdaya, maka teolog Kristen Eropa pun mengikuti arus sekularisasi ini. Sehinggalah ajaran agama berubah-ubah. Bahkan sampai pada aspek yang sangat fundamental.
Buku Islam dan Sekularisme sesungguhnya peringatakan serius untuk umat Islam yang hidup di abad modern ini. Hati-hati jangan sampai pengalaman Kristen di Eropa itu dialami oleh umat Islam di zaman modern ini. Maka, Islam jangan sampai kalah dengan sekularisme. Agar nasibnya tidak tragis.
Karena itu, jalan keluar atas kemelut gerakan sekularisasi ini adalah kembali dan melanjutkan pendidikan Rasulullah ﷺ. Nabi ﷺ, mengamalkan pendidikan golongan dewas. Para sahabat Nabi saw itu dididik dengan cara dan level yang tinggi.
Kitab Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, dapat dijadikan sebagai model pembinaan manusia dewasa. Konon, murid langsung Imam al-Ghazali memang tidak banyak. Tetapi, murid imam al-Ghazali memiliki murid-murid yang banyak dan berpengaruh. Bahkan pengaruhnya dirasakan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani hingga generasi setelahnya sampai umat Islam berhasil memerdekakan Baitul Maqdis.
Imam al-Ghazali mendidik di Madrasah Nidzamiyah. Para mudirnya mendirikan madrasah-madrasah yang banyak yang menghasilkan pemimpin-pemimpin hebat. Bahkan Ahmad Syalabi mengatakan, di zaman kesultanan Al-Ayyubi, tidak ada pemimpin, komandan militer, guru besar, ulama yang tidak ada sambungan ilmu kepada Imam al-Ghazali.
Maka, perkara penting saat ini agar umat Islam tidak kalah dengan sekularisme adalah menyelenggarakan pendidikan tinggi, mendidik golongan manusia dewasa dan membangun perguruan tinggi berkualitas yang penyelenggaraan pendidikannya berdasarkan worldview Islam. Pendidikan pesantren merupakan harapan besar umat Islam. Khususnya di Indonesia. Melalui saluran pendidikan model inilah kemelut umat Islam akan tertangani dengan baik. Sehingga, umat Islam harus fokus, berkenan untuk “merunduk” sebentar untuk serius bersama-sama membina pendidikan tinggi dan pesantren yang berkualitas.*
Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) dan pengajar di INI-Dalwa