Oleh: Kholili Hasib
Hidayatullah.com | “MARTABAT suatu bangsa itu karena budayanya bukan agamanya”, demikian kira-kira pendapat seorang tokoh beberapa waktu lalu. Pernyataan demikian perlu diberi catatan.
Tetapi, hal yang lebih penting dan mendasar dalam konteks ini adalah pengertian apa itu budaya dan apa itu din? Dalam pandangan Islam, tidak melihat secara dikotomis antara budaya dan agama. Proses yang terjadi sejak diturunkannya al-Quran hingga tersebarnya Islam ke berbagai wilayah didunia adalah Islamisasi budaya bukan budayaisasi Islam.
Bangsa Mongolia di bawah pimpinan Jengis Khas dan Kubilai Khan pernah menaklukkan China tahun 1211 hingga 1279. Tetapi, meski menguasai daratan China, justru bangsa Mongol ter-China-kan oleh tradisi keilmuan dan kebudayaan China (Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini, 22). Mongolia mendirikan dinasti Yuan hingga abad ke-14.
Ternyata, itu tidak hanya terjadi di China. Di Asia Tengah — yang dijajah sepenuhnya oleh bangsa Mongol pada sekitar tahun 1219 — secara tradisi dan budaya bangsa Mongol takluk oleh bangsa Asia Tengah yang Muslim. Tahun 1200-an mereka menyerang kerajaan Khawarizmi, hingga daerah Bukhara, Samarkan, Afghanistan dan Persia. Di Persia mereka mendirikan dinasti Timurid hingga abad ke-15. Di India dinasti Muhghal bertahan hingga abad ke-16. Cucu-cucu Jengis Khan yang meneruskan penaklukkan justru masuk Islam. Hingga Bangsa Mongol yang mendiami Asia Tengah berbudaya dan bertradisi Islam.
Baca: Islam Indonesia dalam Pandangan Barat
Bangsa Mongol, pada masa itu, kuat secara militer namun mereka lemah dalam aspek yang mendasar yaitu ilmu dan kebudayaan. Sehingga, pada abad ke-16 kekuatannya memudar mulai di Timur Tengah, Eropa Timur, Asia Tengah dan Selatan dan hingga di China.
Di Asia Tengah, keturunan mereka menjadi sultan-sultan Muslim. Mereka yang mendiami China menjadi bangsa yang sangat mirip China. Kekosongan dari pondasi kebudayaan menyebabkan suatu bangsa itu takluk, atau menjadi rusak.
Tapi, berabad-abad silam, jauh sebelum era invasi bangsa Mongol, alam dunia pernah mengalami kerusakan kebudayaan yang parah. Sayid Abul Hasan Ali Nadawi, ulama India, mencatat dalam karyanya, Madza Khasiral ‘Alam bin Inhitathil Muslimin. “Menjelang kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, abad ke-6 M dunia mengalami periode sejarah paling kelam. Umat manusia berada pada titik kejatuhan paling bawah. Cahaya dakwah para nabi-nabi padam. Manusia kehilangan akal budi,” demikian tulis Sayid Abul Hasan Ali Nadawi (Madza Khasiral ‘Alam bin Inhitathil Muslimin, 29).
Kerusakan hampir merata pada pusat-pusat kebudayaan manusia; China, India, Persia, Romawi, Yunani hingga Timur Tengah. Syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy menjelaskan, bahwa di antara rusaknya peradaban bangsa-bangsa di dunia sebelum era kenabian Muhammad ﷺ, ternyata kerusakan dari bangsa Arab Makkah lebih ringan.
Bangsa Persia, menjadi lahan penyimpangan agama dan falsafah. Pernikahan sedarah disahkan. Justru diyakini adalah keutamaan. Menikah ibu, akan perempuan kandungnya dan saudara kandung perempuan banyak sekali terjadi.
Raja Yazdasir II diceritakan menikahi putrinya sendiri. Pada bangsa Romawi memiliki karakter untuk menjajah bangsa lain, membinasakan bangsa lain dan membantainya. Yunani menjadi pusat kerakan pikiran manusia. Di India, China, Asia Tengah dan lain-lain juga demikian. (Syeikh Muhammad Ramadhan al-Buthy, Fiqh as-Sirah An-Nababiyah, hal. 30-31).
Bangsa Arab, khususnya Arab Quraisy Makkah, dipilih Allah Swt sebagai pusat kebangkitan peradaban manusia. Tentu ada alasannya.
Menurut Syekh Al-Buthy, karena bangsa-bangsa lain terlalu serius rusaknya. Bangsa Arab Qurasy Makkah cenderung stabil. Meski tetap ada kejahilan. Kesyirikan, perang suku, mengubur anak perempuan.
Ternyata, di luar Arab, kejahilan seperti ini jauh lebih parah lagi. Wilayah Makkah yang tandus dan jarang dikunjungi bangsa lain ini menjadi faktor juga sulitnya kejahilan masuk ke dalam bangsa Arab Makkah.
Sosok bernama Muhammad Rasulullah ﷺ dipilih sebagai pembangkit peradaban dunia juga ada alasannya. Dalam catatan al-Buthy, bangsa Arab merupakan ras terbaik yang ada di bumi pada waktu itu.
Di antara suku-suku Arab yang jumlahnya puluhan, Quraisy adalah terbaik. Kelebihan suku Quaraisy adalah keberanian, kejujuran, kuat dan potensi leadership yang kuat.
Makanya bangsa Arab mempercayakan keluarga Quraisy sebagai penjaga Ka’bah. Bukan kepada qabilah lain. Di kalangan qabilah Quraisy, keluarga Bani Hasyim adalah terbaik. Dari keluarga Bani Hasyim inilah Nabi ﷺ dilahirkan.
Ternyata menurut catatan ahli nasab, ayah-ibu Nabi, Abdullah dan Aminah, beserta nenek moyangnya ke atas bersih tidak pernah berzina (Al-Qodhi Abul Fadh Iyad, Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquqi al-Mustafa, hal. 18). Pembangkit peradaban dipilih dari darah yang unggul dan rahim yang suci.
Bangsa yang tinggi kebudayaannya tentu harus dipimpin oleh orang yang baik di sisi akal budi, akhlak, dan adabnya. Nabi Muhammad ﷺ sebelum dilantik menjadi utusan Allah Swt, sudah dikenal masyarakat Arab sebagai orang yang jujur dan dipercaya. Maka diberilah dengan gelar al-Amin. Gelar ini bukan diperoleh setelah Allah mengangkat menjadi Nabi-Rasul. Tetapi, sebelum dilantik, bangsa Arab telah memberi kehormatan padanya.
Annemarie Schimmel menyebut Nabi Muhammad ﷺ sebagai sosok yang paling sukses melakukan gerakan di muka bumi ini (Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, hal. 3). Atas hal ini, Nabi ﷺ sebagai sentra peradaban mulia manusia menjadi kajian di Eropa. Ada yang mencela tapi ada yang mengapresiasi.
“Di Eropa, yang di sana Nabi Muhammad Saw terkadang dipandang pemuja berhala atau Mahound (jiwa kegelapan), biografinya dikaji sejak abad ke-18 dan sesudahnya,” tulis Annemarie Schimmel.
Artinya, dunia Barat — yang kini memegang “pimpinan” peradaban manusia — masih penasaran dengan cara Nabi ﷺ membina peradaban dari negeri tandus itu.
Baca: Infiltrasi Budaya Barat ke dalam Islam
Akhlak dan Adab
Sejak awal, ajaran Nabi ﷺ tentang akal budi luhur tersebentuk secara sistematis asli dari Allah dijaga oleh generasi Sahabat yang kemudian secara sistematis juga diformulasi secara epistemologis oleh para ulama otoritatif (lihat Prof Wan Mohd Nor Wan Daud dalam artikelnya The Virtuous Civilization of Islam, 2020).
Allah Swt menganugerahi agama ini dengan tradisi kuat keilmuanya dengan kekuatan isnad (bersambung) kepada Nabi hingga kepada Allah Swt. Suatu tradisi yang tidak dijumpai dari agama-agama lain di dunia. Dunia Islam belum mengalami suatu era ‘keterputusan’ (gab) antar generasi.
Makanya, ada tiga syarat suatu budaya itu disebut unggul. Prof. Al-Attas menjelaskan, pertama kebudayaan itu mencapai tujuan di bidang ruhani, akhlak-budi pekerti, akal pikiran dan seni. Kedua, menghasilkan suatu tujuan hidup yang jelas dan tetap, yaitu kebahagiaan di akhirat. Ketiga, kemampuan pada penguasaan alam dunia yang didasari nilai ruhani (lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 77-79).
Jadi, dari syarat tersebut, formulasi kebudayaan yang unggul itu adalah bertumpu kepada nilai ruhani dan akhlak, sebagai faktor terpenting. Karena itulah dalam pembangunan peradaban Islam yang diutamakan adalah pembangunan manusia. Bukan sekedar pembinaan bangunan fisik belaka.
Karena, pemikiran Islam berbeda dengan bentuk pemikiran Barat modern. Pemikiran Islam meliputi realitas fisika dan metafisika. Bahkan, metafisika menjadi tumpuan dasar pemikiran Islam.
Maka, pembinaan kebudaayaan Islam haruslah dimulai dari metafisika dasar Islam. Meski, level metafisika berada pada posisi tertinggi dalam pemikiran Islam, tetapi ia menjadi dasar paling bawah dalam membina manusia, pendidikan, kebudayaan dan pemikiran secara umumnya.
Thomas Aquinas mengatakan posisi penting metafisika. Ia sebagai Prima Philosophia, karena metafisika menjadi faktor yang menentukan dalam sains, menjadi prinsip pertama dalam sains (Jan Kielbasa, What is First? Metaphysics as Prima Philosophia and Ultima Scientia in the Works of Thomas Aquinas dalam jurnal Philosophia (2013) Published online 17 August 2013).
Baca: Islam, Barat dan Benturan Peradaban [1]
Dalam tradisi Islam, metafisika ditemukan dalam kajian tasawuf. Sejak di tangga pertama orang Islam mempelajari ilmu-ilmu syariah, maka ia sudah bersentuhan dengan dasar metafisika. Ada kajian tentang Tuhan, pengertian hati, ilmu dan kehidupan.
Tetapi, tradisi metafisika sampai tinggi barangkali kini masih lagi perlu dipertingkat lagi. Besarnya dominasi pemikiran yang empiris dan rendahnya minat umat untuk mengkaji pemikiran yang tinggi dalam tasawuf. Sebagian umat muslim kontemporer barangkali telah mengkaji tasawuf, namun umumnya pada aspek amaliyah, suluk, adab dan akhlaknya. Andaikan, ditingkatkan lagi pada level kajian metafisika tinggi maka akan mengangkat taraf produk kebudayaan kita.
Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam buku Falsafah dan Amalan Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa pembangunan kurikulum pendidikan Islam mesti didasari oleh metafisika dasar Islam. Dalam metafisika memang tradisi Islam sangatlah kaya. Hanya saja jika ada generasi sekarang lebih kagum pemikiran Barat yang sebetulnya, masih “miskin” metafisikanya itu, adalah karena kurang kenalnya mereka kepada tradisi para ulama terdahulu.*
Penulis adalah dosen IAI Dalwa Bangil