Oleh: Abduh Rijal
Hidayatullah.com | SEBELUM datangnya agama Islam, masyarakat Melayu adalah penganut Hindu, Budha dan juga paham Animisme. Animisme adalah kepercayaan bahwa setiap benda di bumi seperti kawasan tertentu, goa, pohon, batu besar, dan lain-lain mempunyai roh atau jiwa yang mesti dihormati agar tidak mengganggu manusia.
Mereka juga berharap agar roh-roh tersebut menjaga mereka dari roh jahat dan membantu dalam kehidupan sehari-hari.
Peribadatan kaum penganut Animisme tercermin pada permohonan – permohonan masyarakat kepada roh alam lewat persembahan sesaji dengan permintaan kepada roh untuk penyembuhan penyakit, sukses dalam bercocok tanam, terhindar dari bencana alam, selamatan ketika memasuki rumah baru, dan lain-lain. Pemikiran masyarakat pra islam banyak terjebak kepada mitos – mitos dan tradisi nenek moyang terdahulu.
Adapun agama seperti Hindu dan Budha, pengaruhnya hanya terdapat pada kasta – kasta tinggi. Kalangan elit ini menggunakan kepercayaan orang Melayu terdahulu yang mempercayai tentang kekuatan peri dan Dewa – Dewi untuk memperdaya kaum bawah dengan membuat mitos – mitos yang mengatakan bahwa para raja dalah hasil dari perkawinan suci para Dewa Dewi, sehingga para raja yang ada adalah representasi kekuatan dewa yang harus ditaati. Syed Naquib al Attas menulis :
Mengenai kesimpulan pendapat tersebut saya berdiri sejajar dengan Van Leur yang menyatakan bahwa masharakat Melayu-Indonesia itu bukanlah sebenarnya masharakat Hindu, tetapi pada hakikatnya hanya golongan bangsawan sahajalah yang menganuti agama itu dengan sungguh – sungguh . Perihal penganutan agama tersebut, golongan bangsawan itu pun tiadalah dapat dikatakan benar-benar faham akan ajaran – ajaran murni yang ada terpendam dalam falsafah Hindu asli yang luhur itu, akan tetapi dari hal demikian, mereka hanya mementingkan perkara – perkara yang mengenai tata-upachara serta ajaran – ajaran yang mem-besar – besarkan keagungan dewa – dewa bagi kepentingan pendakwaan mereka sendiri bahwa merekalah penjelmaan dewa – dewa itu. (Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayi, Syed Naquib Alatas).
Baca: “Islam Nusantara”: Islamisasi Nusantara atau Menusantarakan Islam
Banyak ritual dan kitab agama Hindu Budhda tersimpan rapi di kalangan kerajaan, tradisi dan ritual juga lebih banyak dilaksanakan oleh golongan kelas tinggi daripada kelas bawah. Kasta yang rendah sengaja dibatasi akses untuk kitab mereka guna melanggengkan kekuasaan para kelas elit. Sebagian pakar sejarah mengkritik bahwa sistem kepercayaan Hindu-Buddha dan sistem sosial yang tidak adil dan proporsional menghambat perkembangan tradisi keilmuan Melayu.
Masyarakat Melayu sebenarnya lebih banyak cenderung menaruh perhatian kepada hal yang berbau seni daripada hal yang bersifat filsafat. Karena memang agama Hindu tidak membawa pesan – pesan yang bernilai tinggi. Sangat sedikit karangan agama hindu yang hingga kini masih dikaji sampai saat ini.
Sebagai contoh hasil karya mahabarata dan Bhagavad Gita tidak banyak meeberikan perubahan positif kepada manusia alam Melayu. Ketika Islam hadir ke Alam Melayu, ajaran yang berasal dari al-Quran dan Hadits ini telah mempengaruhi banyak aspek sehingga bisa dikatakan Islam telah mencetuskan suatu zaman baru.
Pengaruh yang dibawa oleh Islam merupakan suatu kesan menyeluruh berdasarkan tauhid. Dampak tauhid tersebut menyebabkan perubahan warna kehidupan masyarakat Melayu Indonesia yang berlaku pada “rupa dan jiwa” masyarakat di alam Melayu ini.
Baca: Dengan Bahasa Melayu, Ulama Kita Menyatukan Nusantara
Perubahan tersebut bukan hanya melibatkan perubahan fisik atau luaran saja, namun juga membawa kesan daripada falsafah dan pemikiran Islam. (Sumbangan Tamadun Islam dalam Kehidupan Masyarakat di Alam Melayu Hingga Abad ke-17 M, Ali Mohammad)
Dr. Tatianna Dennisova, professor Center on Advanced Studies on Islam, Science and Civilization (CASIS), Malaysia memaparkan bahwa salah satu hal yang membuat masyarakat Melayu mudah menerima pengaruh baru dan asing dalam hidup mereka adalah karena masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang terbuka. Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang hidup di daerah kepulauan. Sebagian dari mereka banyak yang tinggal di daerah pesisir dimana banyak kapal perdagangan datang untuk berlabuh. Kawasan Melayu juga kaya akan sumber daya alam sehingga rakyatnya makmur dan jnauh dari konflik sosial. Para wiraswasta Muslim tidak datang sebagai penakluk seperti yang dikerjakan oleh bangsa Spanyol pada abad ke 16. Mereka tidak menggunakan pedang dalam dakwahnya. Juga tidak memiliki hak untuk melakukan penindasan terhadap rakyat bawahnya.
Para da’i hanya sebagai wiraswasta yang memanfaatkan kecerdasan dan peradaban mereka yang lebih tinggi untuk kepentingan dakwahnya. Harta perniagaannya lebih tinggi untuk kepentingan dakwahnya. (Hhistory of Indian Archipelago, John Crawford).
Islamisasi yang terjadi di alam Melayu, menurut Prof Syed Naquib al Attas, terbagi menjadi tiga tahap. Pertama adalah mengislamkan aspek luar dari masyarakat Melayu seperti mengajarkan kalimat syahadad sebagai syarat masuk Islam, membentuk system perdagangan yang adil sesuai syariat, dan mengajarkan cara untuk mengurus jenazah, mengajarkan cara menikahkan seseorang, dan lainnya.
Baca: Islamisasi Tanah Melayu bukan Arabisasi
Islamisasi tahap pertama
Islamisasi pada tahapan ini adalah proses mengislamkan luaran atau perilaku dari masyarakat Melayu, fase ini mudah karena ia tidak berkenaan dengan konsep pemikiran yang rumit. Para ahli sejarah banyak berpendapat bahwa jalur perdagangan merupakan jalur awal masuknya Islam. Pasar sebagai tempat berkumpulnya individu – individu, merupakan tempat strategis untuk mengenalkan ajaran – ajaran Islam yang luhur.
Melalui ajaran seperti ini, Islam masuk ke Nusantara Indonesia. Di pasar diperkenalkan ajaran Syahadad. Dibaca setelah menjadi penganut Islam, disertai membudayakan mandi. Setiap masjid terdapat sumur tujuh sebagai pengenalan budaya mandi. Diajarkan pula agar mau menutup badannya dengan busana. Dikenalkan sandang pribumi atau batik dengan gambar satu dimensi, daun atau burung. Digambarkan dengan bentk miring. Batik sebagai pengganti kebiasaan menutupi badan hanya dengan dedaunan. Diajarkan pula menyisir rambut. (Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara).
Masuknya Islam di tahap awal juga berpengaruh pada aspek sosial sehingga mampu mengubah secara perlahan peninggalan ajaran Hindu Budha terdahulu. Islam telah menggantikan system kasta dengan memperkenalkan sistem atau konsep persamaan taraf dan persaudaraan Islam.
Hal ini membuat antara satu individu atau suku dengan suku lainnya mewujudkan kerjasama, kerukunan, dan semangat bantu membantu antara satu sama lain.
Islamisasi tahap kedua
Islamiasi pada tahap berikutnya adalah pengislaman dalam hal bahasa Melayu. Untuk mengajar kepada orang Melayu, para muballigh dari hadramut, India dan Arab, menyadari bahwa untuk menyebarkan agama mereka membuhtuhkan bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan ilmu dan ajaran Islam. Dipilihlah bahasa Melayu yang cenderung sedikit telah terkontaminasi oleh pemikiran Hindu dan Budha daripada bahasa daerah lainnya.
Buku dan karangan yang terlahir di alam Melayu merupakan bukti bahwa Islam telah masuk ke tahap berikutnya yaitu pada tahap intelektual. Selain sebagai catatan – catatan sejarah atau sebagai karangan dengan nuansa politik, di dalam karangan yang tertulis sudah memuat istilah dari tradisi keilmuan Islam seperti kata imam, khatib, haji, sayyid, qari, murid dan sebagainya.
Penulisan kata – kata tersebut bukan hanya sekedar pengambilan istilah, namun juga pengambilan makna yang sesuai dengan al-Quran dan menyisihkan kata yang memuat faham kepercayaan terdahulu. (Bersambung) Islamisasi Tahap Tiga klik <<2>>>