Generasi muslim sekarang memiliki potensi yang sama dengan generasi salafus shalih menjadi generasi terbaik. Dengan syarat mengamalkan tiga rahasia
Oleh: Desti Ritdamaya
Hidayatullah.com | SAHABAT adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah ﷺ secara langsung, beriman pada risalahnya dan wafat dalam membawa iman.
Tabi’in adalah orang yang tak bertemu secara langsung dengan Rasululllah ﷺ, hanya bertemu dengan Sahabat Rasulullah ﷺ. Mereka berguru pada Sahabat terkait tsaqafah Islam.
Tabi’ut tabi’in adalah orang yang tak bertemu secara langsung dengan Sahabat Rasulullah ﷺ, hanya bertemu dengan tabi’in untuk berguru.
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ،
“Sebaik-baik manusia adalah masaku, lalu orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadits mulia di atas menjelaskan bahwa ada tiga generasi terbaik yang dilahirkan dari manusia. Yaitu generasi masa Rasulullah ﷺ hidup (Sahabat), generasi yang mengikuti Sahabat (tabi’in) dan generasi yang mengikuti tabi’in (tabi’ut tabi’in).
Tiga generasi –Sahabat, Tabi’in, tabi’ut tabi’in— disebut salafus shalih. ‘Alim ulana yang menjadi teladan dunia akhirat.
Mereka menampilkan Islam dalam kancah kehidupan. Sehingga tampak kemuliaan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Tampak cahaya Islam sebagai penerang dunia dari kejahiliahan.
Tampak ketinggian Islam sebagai peradaban agung. Dengan wilayah kekuasaan Islam meliputi hampir 2/3 dunia yang menyentuh Asia dan Eropa. Apa rahasia mereka mencapai demikian?
Ya penting mengetahui rahasia generasi terbaik di atas agar generasi sekarang menapaki langkah keimanan yang sama. Agar berpegang pada kebenaran yang sama.
Agar mengarahkan kehidupan dengan tujuan yang sama. Bukan perkara untuk kesuksesan dunia akhirat secara individual saja. Tapi yang lebih utama adalah untuk kemuliaan, keagungan dan ketinggian risalah Islam.
Ada tiga rahasia generasi terbaik. Satu sama lainnya saling berkelindan, tak bisa dipisahkan.
Pertama, mereka memahami akidah Islam secara benar. Dengan mengaktifkan proses berpikir untuk menjawab dari mana manusia berasal, untuk apa manusia hidup di dunia, serta kemana dan apa yang terjadi pada manusia setelah kematian datang.
Mengaitkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan dalil aqli berupa tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan bumi. Serta dalil naqli yang termaktub pada ayat-ayat Al Quran dan hadits mutawatir.
Hal ini menjadikan mereka meyakini Allah tak hanya sebagai al Khaliq (Sang Pencipta) tapi juga al Mudabbir (Sang Pengatur).
Keyakinan ini mengakar kuat dalam akal dan jiwa generasi terbaik. Mereka ikhtiar mukhlis dan muhsin dalam beramal.
Ikhtiar berdzikir mengingat Allah dalam setiap aktifitas kesehariannya. Ikhtiar bertafakur pada keteraturan, kesempurnaan dan tak ada kebatilan dalam ciptaanNya.
Tumbuh kesadaran akan hubungan diri dengan Allah. Bahwa Allah selalu bersamanya, melihatnya dan mendengarnya. Tak berani bermaksiat pada Allah walaupun dalam kesendirian sehingga ketakwaan itu melekat pada diri mereka.
Kedua, mereka menerapkan Islam sebagai solusi kehidupan. Generasi terbaik menjadikan ideologi Islam sebagai oksigen dalam kehidupan.
Maksudnya Islam menjadi panduan dalam berpikir (qaidah fikriyyah) dan beramal (qiyadah fikriyyah). Islam sebagai panduan dalam berpikir melazimkan mereka menjadi pecinta dan penikmat majelis ilmu.
Kedalaman pemahaman tsaqafah Islam nampak dari bermunculan para mujtahid dan pakar yang karyanya mendunia hingga sekarang.
Islam sebagai panduan dalam beramal melazimkan mereka menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan negara.
Nampak pada pelegalan syariat Islam sebagai Undang-Undang (UU) negara. Permasalahan kehidupan baik terkait ibadah maupun muamalah publik, solusinya digali dari sumber-sumber syariat Islam (al-Quran, hadits, ijma’ sahabat dan qiyas).
Mereka menafikkan solusi permasalahan kehidupan dari luar syari’at Islam yang batil dan mencederai keimanan. Sehingga syari’at Islam terinternalisasi dalam kata dan perbuatan mereka.
Ketiga, mereka mengemban dakwah Islam. Generasi terbaik memahami tak cukup shalih, tapi ada kewajiban dan tanggung jawab di pundak menjadi muslih. Maksudnya menggerakkan diri dalam kerja dakwah Islam (amar ma’ruf wa nahi munkar).
Misalnya, Sahabat Abu Bakar saat masuk Islam sudah menyadari bahwa dakwah Islam bukan hanya tugas Rasulullah ﷺ. Abu Bakar turut aktif menyampaikan Islam kepada kerabat, Sahabat dan masyarakat.
Melalui tangan Abu Bakar as Siddiq ra, masuk Islam banyak Sahabat yang harum namanya, seperti Ustman bin Affan ra, Abdurrahman bin Auf ra, Zubair bin Awwam ra dan sebagainya.
Tak hanya itu melalui tangan Khabab bin Art ra masuk Islam Umar bin Khattab ra. Melalui tangan Mush’ab bin Umair ra masuk Islam mayoritas penduduk Madinah. Hal yang sama juga dilakukan generasi tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Generasi terbaik terjun aktif dalam melakukan futuhat (pembebasan negeri untuk dakwah) yang dilakukan oleh negara Islam. Mereka bahkan rela meninggalkan negeri tercinta untuk berbakti dalam dakwah Islam pada penduduk negeri yang difutuhat.
Mereka melakukannya dengan keikhlasan mengharap ridha Allah dan balasan pahala dari Nya. Bukan iming-iming kenikmatan dunia yang fana.
Dapatkah generasi muslim sekarang yang hidup di akhir zaman menjadi seperti mereka? Sampai sekarang akidah dan syari’at Islam masih terjaga.
Artinya generasi muslim sekarang memiliki potensi yang sama dengan generasi salafus shalih. Dengan syarat mengamalkan tiga rahasia di atas.
Hanya dengan syarat inilah generasi muslim sekarang dapat membuat Rasulullah takjub perihal keimanannya. Sehingga layak menjadi saudara-saudara yang dirindukan oleh Rasulullah ﷺ yang membuat ‘cemburu’ para Sahabat.
وَدِدْتُ أَنِّى لَقِيتُ إِخْوَانِى. قَالَ فَقَالَ أَصْحَابُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَوَلَيْسَ نَحْنُ إِخْوَانَكَ قَالَ : أَنْتُمْ أَصْحَابِى وَلَكِنْ إِخْوَانِى الَّذِينَ آمَنُوا بِى وَلَمْ يَرَوْنِى.
“Aku rindu ingin sekali berjumpa dengan saudara-saudaraku, para Sahabat nabi radliyallahu ‘anhum berkata: “Bukankah kami saudara-saudaramu? Beliau menjawab: “Kalian adalah para sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang-orang yang beriman kepadaku walaupun mereka belum pernah berjumpa denganku.” (HR. Imam Ahmad). Wallahu a’lam bish-shawabi.*
Praktisi pendidikan