Hidayatullah.com | PADA tanggal 3 November 2008, di toko buku Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, ada buku Dr. Muhammad Sayyid Ahmad Al-Musayyar (1948-2008), yang cukup menyita perhatian saya dan kemudian dibeli dengan harga 24 pound. Judulnya: “al-Ilāhiyyāt fī al-‘Aqīdah al-Islāmiyyah” yang terbit pada tahun 2006.
Beliau termasuk dosen favorit di Fakultas Ushuluddin. Buku ini membahas seputar masalah ketuhanan dalam akidah Islamiyah. Sudah menjadi kebiasaan saya, saat melihat-lihat buku, hal pertama yang dilakukan adalah membaca pengantar, pendahuluan dan daftar isi buku.
Dalam proses pembacaan singkat itu, saya amat tertarik ketika membaca pembahasan masalah pemahaman sifat ketuhanan dalam akidah (hal. 154-175) yang menerangkan bahwa dalam memahami teks-teks terkait sifat Allah seperti: wajh, yad, ‘ain dan lain-lain, setidaknya ada empat arus pemahaman dalam tubuh umat Islam: Pertama, tafwidh. Kedua, tasybih. Ketiga, ta’wil. Keempat, itsbat bidh-dhawabit.
Untuk memudahkan pemahaman keempat arus pemahaman ini, pada halaman 168, Dr. Musayyar memberikan contoh konkret dari firman Allah:
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
“Yad Allah di atas tangan-tangan mereka.” (QS: Al-Fath [48]: 10) (Dalam terjemahan Depag diartikan: “Tangan Allah di atas tangan mereka.’)
Berdasarkan ayat ini, bagi yang berpandangan tafwidh (menyerahkan ke Allah), maka maknanya Allah lebih tahu maksudnya. Golongan ini tidak menetapkan atau menafikan Allah punya tangan, demikian juga tidak mengatakan bahwa kata “yad” yang disandarkan ke Allah itu hakikat ata majaz (kiasan).
Sedangkan yang tasybīh / musyabbihah (yang menyerupakan) memaknai ayat ini sesuai dengan hakikat bahasa bahwa Allah punya tangan seperti tangan kita karena menurut bahasa pengertiannya sudah jelas karena makna tangan yang dipahami secara bahasa adalah tangan manusia.
Adapun yang ta’wīl / mua`wwilah, memahami bahwa kata “yad” adalah majaz (kiasan) bukan makna hakikatnya. Maksud “yad” di sini adalah kuasa atau kekuasaan. Kalau dipakai pada hakikatnya, maka akan mengurangi sifat ketuhanan yaitu adanya penyerupaan dengan makhluk, padahal Allah disucikan dari berbagai penyerupaan dengan makhluk-Nya.
Sementara yang itsbāt /mutsabbitah, berpandangan bahwa berdasarkan ayat ini Allah memiliki “yad” (tangan), tanpa tafwidh, artinya tidak mengatakan hanya Allah yang tahu.
Golongan ini juga tidak menerima tasybīh, artinya menolak pandangan yang menyatakan Allah punya tangan seperti makhluk. Demikian juga menolak ta`wīl yang berpandangan bahwa tangan yang dimaksud adalah kekuasaan.
Menariknya, setelah menyebutkan berbagai macam pemahaman itu, al-marhum Dr. Musayyar berusaha mencari titik temu dan berpendapat bahwa tidak masalah bagi yang memegang pendapat nomer 1, 3 dan 4 (Tafwīdh, Ta’wīl, Itsbāt). Sedangkan tasybīh, terang-terangan ditolak karena mengurangi kesempurnaan Allah.
Kata beliau, yang tafwidh itu berarti taslim, menyerahkan pada teks ayat, tak mau masuk lebih dalam karena itu di luar jangkauan akal. Sedangkan yang ta’wil, bukan berarti ta’thil (mengaggapnya tak bermakna).
Pada dasarnya, orang yang memilih ta`wil pun juga mengenal kemulian dan kesempurnaan Allah. Sementara yang memilih itsbāt, menurut beliau, ini termasuk bagian dari ta’wil. Mengapa? Kalau mereka mengatakan : “Kami menetapkan apa yang ditetapkan Allah tanpa “tasybih” (penyerupaan), maka ini bagian dari majaz (kiasan). Karena apa? Memalingkan lafazh dari zahir makna secara bahasa menurut ilmu bahasa Arab adalah majaz atau ta`wil. Dalam pengertian bahasa, yang dimaksud yad adalah tangan manusia. Jadi, kalau mereka menetapkan Allah punya tangan tapi bukan tangan seperti manusia, maka otomatis mereka menggunakan majaz/ta`wil.
Setelah menjelaskan masalah ini, di akhir pembahasan beliau memberikan pernyataan yang cukup mendinginkan. Beliau mengajak untuk mencari titik temu antar ketiga pandangan yang bisa dipakai tadi (tawfidz, ta’wil dan itsbat). Kemudian beliau juga menandaskan, “Kami berharap (antar golongan) tidak mengeluarkan vonis fasik, bid’ah terhadap ketiga kelompok tadi,” katanya.
Dr. Muhammad Musayyar dilahirkan pada tahun 1948. Beliau lahir dalam rahim pendidikan Al-Azhar. Bapaknya Dr. Sayyid Ahmad Musayyar (1907-1975), kakek dan paman-pamanya adalah ulama besar Al-Azhar dan rata-rata jadi dosen dalam berbagai universitas.
Dr Muyassyar telah menghafal al-Qur`an sejak usia di tangan ibunya. Beliau wafat pada 2 November 2008, pada usia 60 tahun. Beliau guru besar akidah filsafat di Al-Azhar.
Beliau pernah menjadi dosen di Universitas Ummul Quro tahun 1993-1998. Beliau aktif mengisi siaran dakwah di berbagai radio dan tv. Di antara karya tulisnya: ar-Ruh fii Diraasaat al-Mutakallimiin wa al-Falaasifah, asy-Syafa’ah fil Islaam, Ushuulu an-Nashraaniyyah fi al-Mizaan, Qadhiyyatut Takfiir fii al-Fikri al-Islaamy dan lain-lain.*/Mahmud Budi Setiawan