Oleh: Mahmud Budi Setiawan*
AKHIR-AKHIR ini, di kalangan masyarakat awam atau orang yang tidak memiliki ekspektasi dalam ilmu hadits mengeneralisir bahwa semua hadits dha’if tertolak dan tak bisa diamalkan sama sekali. Ketika menjumpai orang menyampaikan hadits dhaif, seolah-olah langsung alergi. Padahal, jumhur ulama sama sekali tidak berpendapat seperti itu.
Hadits dha’if, selama bukan masuk kategori hadits palsu atau masih ringan kedha’ifannya maka jumhur ulama berpendapat boleh memakainya dengan dua syarat penting: Pertama, tidak terkait dengan akidah; seperti sifat Allah. Kedua, tidak menyangkut masalah hukum syariat; seperti halal dan haram.
Jadi boleh meriwayatkannya dalam hal nasihat, targhib (motivasi), dan tarhib (peringatan), amalan-amalan utama, kisah dan semacamnya. (Mahmud Thahhan, Taisiir Mushthalah al-Hadits, 2004: 80)
Terkait hal ini Imam an-Nawawi dalam kitab “al-Adzkaar” beliau menulis, “Para ulama dari kalangan ahli hadits, fuqaha, dan lainnya berkata, ‘Boleh dan dianjurkan mengamalkan hadits dhaif dalam masalah keutamaan amal dan targhib-tarhib selama bukan hadits maudhu’ (palsu).” (An-Nawawi, al-Adzkaar al-Muntakhab min Kalaam Sayyid al-Abraar, 27). Ulama-ulama yang dikenal memakai hadits dha’if dengan ketentuan itu seperti Sufyan Ats-Tsauri, Abdurrahman bin Mahdi, dan Ahmad bin Hanbal.
Lebih jauh dari itu, ketika para jumhur sepakat bahwa pemakaian hadits dha’if hanya dalam bidang nasihat, keutamaan amal, kisah, dan semacamnya, bukan dalam ranah akidah dan penetapan hukum syariat, Syeikh Tajuddin As-Sudani –Pimpinan Markas Khidmah Sunnah dan Sirah Nabi (suatu lembaga di bawah naungan AQL Islamic Center)– dalam artikel ilmiahnya berjudul “Ahammiyatu Hadits Dha’if wa Dauruhu fi al-Tasyrii’”, menyampaikan pandangan yang lebih maju.
Dalam masalah hukum atau penetapan syariat pun, menurut beliau, hadits dhaif bisa dijadikan hujjah ketika sesuai dengan kategori berikut (yang akan disebut 5 di antaranya):
Pertama, dalam kondisi ketika tidak ada lagi dalam suatu bab (pembahasan) selain hadits dhaif. Yakni, ketika ada hadits dhaif, sedangkan tak didapati dalam suatu bab selainnya baik hadits shahih, hasan, atau yang menentangnya. Pendapat ini dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Khullal berkata, “Madzhab beliau –yaitu Imam Ahmad bin Hanbal— ialah hadits dhaif ketika tidak ada penentangnya, maka bisa dikatakan (dijadikan hujjah).” Di dalam masalah Pembayaran (Kaffarah) Menggauli Istri yang haid, “Pandangan beliau dalam hadits-hadits ini –meski mudhtharib tapi tidak ada penentangnnya—maka beliau berkata dengannya (menjadikannya argumen).”
Kedua, jika umat (sepakat) menerima hadits dha’if , maka ia menjadi hujjah. As-Sakhawi berkata, “Demikianlah! Jika umat menerima hadits dhaif, maka itu bisa diamalkan berdasarkan pendapat yang shahih, bahkan kedudukannya diposisikan seperti mutawatir dalam hal (bisa) menghapus yang sudah qat’i (pasti). Karena itu Imam Syafii Rahimahullah berkata terkait hadits “La washiyyata li waarits” (tidak [ada] wasiat untuk pewaris). Hadits ini tak dianggap kuat oleh ahli hadits, akan tetapi pada umumnya orang menerima dan mengamalkannya hingga bisa menjadi penghapus bagi ayat tentang wasiat. (As-Sakhawi, Fath al-Mughiits Bisyarh Alfiyah al-Hadiits, I/350)
Ketiga, hadits dhaif diamalkan masuk dalam bab kehati-hatian. Sebagai contohnya, perkataan Imam Syafii tentang (hukum) membaca al-Qur`an bagi wanita yang haid dan junub. Beliau berkata, “Saya lebih suka (menyarankan) kepada wanita yang sedang junub dan haid, agar tidak membaca al-Qur`an sampai bersih, karena ada riwayat (yang melarangnya) meskipun ahli hadits tidak menguatkannya.” (As-Sakhawi, Fath al-Mughiits Bisyarh Alfiyah al-Hadiits, I/350)
Keempat, memakai hadits dhaif dalam masalah “fadhailul-a’maal” (Keutamaan Amal). Terkait hal ini, Ibnu Shalah berkata, “Menurut ahli hadits dan lainnya, boleh tasahul (mempermudah) dalam masalah sanad. Riwayat apa saja selain hadits maudhu yang merupakan bagian dari hadits dhaif dan bukan terkait masalah halal-haram dan lain sebagainya.
Contohnya seperti nasihat-nasihat, kisah-kisah, keutamaan-keutamaan amal, seluruh disiplin targhib (motivasi) dan tarhib (peringatan), dan seluruh yang tidak berkaitan dengan masalah hukum dan akidah.” (Ibnu Shalah, Ma’rifah Anwaa’ ‘Uluum al-Hadiits, 103)
Kelima, hadits dhaif menjadi kuat dengan perkataan Sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Contohnya hadits-hadits yang ada terkait kewajiban zakat atas harta anak yatim hadits ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ berkhutbah di hadapan orang. Beliau bersabda:
أَلَا مَنْ وَلِيَ يَتِيمًا لَهُ مَالٌ فَلْيَتَّجِرْ فِيهِ وَلَا يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Siapa saja yang mengurus anak yatim sedangkan anak tersebut memiliki harta, hendaknya dia gunakan untuk berdagang dan tidak membiarkannya habis untuk membayar zakatnya.”
Hadits ini diriwayatkan hanya melalui jalur ini. Dalam sanadnya pun menjadi bahan perbincangan; karena Mutsanna bin Shabbah dilemahkan dalam hadits ini.
Lebih dari satu Sahabat Nabi berpendapat bahwa dalam harta anak yatim ada zakatnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Umar, Ali, Aisyah, Ibnu Umar. Demikian juga Malik, Syaifii, Ahmad dan Ishaq. Perlunya harta anak yatim di zakati masuk pada sub bagian hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan keumuman wajibnya zakat.
Itu di antara 5 kategori (di antara 9 kategori) yang ditulis oleh Syeikh Tajuddin dalam hal kebolehan menggunakan hadits dha’if dalam masalah hukum. Menariknya, menurut temuan dan penelitian beliau, ulama-ulama yang menolak pemakaian hadits dha’if dalam ranah hukum, dalam fikih-fikih karya mereka ternyata juga didapati memakai hadits dha’if.
Ini menunjukkan bahwa umat mesti hati-hati dalam menyikapi hadits dha’if. Tidak semua hadits dha’if itu ditolak. Di samping itu, ternyata masih ada ruang atau kemungkinan untuk memakainya bukan hanya di masalah keutamaan amal, tapi juga dalam ranah hukum.*
*Penulis alumnus Al Azhar Mesir