Oleh: Kholili Hasib
SOSOK Imam Abu Hasan al-Asy’ari tidak boleh dipandang miring, keliru apalagi sesat. Sebab para ulama pengikutnya berperan membangun peradaban dan ilmu pengetahuan Islam. Termasuk dalam bidang ilmu hadits.
Kontribusi para ulama madzhab al-Asy’ari terhadap perkembangan ilmu musthalah hadits tidak dapat diabaikan. Bahkan menurut catatan al-Baghdadi, mayoritas ulama ahli hadits menganut madzhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Dalam kitabnya Ushul al-Din, Abu Mansur al-Baghdadi berpendapat: “Tak seorang pun dari ahli kalam yang memiliki pengikut sebanyak beliau, karena semua ahli hadits dan semua ahl al-ra’yi yang tidak mengikuti Mu’tazilah adalah pengikut madzhabnya.” (al-Baghdadi, Ushul al-Din, hal. 309).
Pendapat ini diperkuat oleh Imam Tajuddin al-Subki yang mengatakan: Wa huwa ya’nī madzhaba al-Asyā’irah, madzhabul muhadzitsīn qadīman wa hadītsan (Dan ia, yakni madzhab Asya’irah adalah madzhab para ahli hadits dari dulu dan sekarang.” (al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 4, hal. 32).
Informasi tersebut juga dapat dibaca dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh karya Imam al-Dzahabi dan Tabaqat al-Huffadz karya Imam al-Suyuthi.
Dalam kitab ini juga didapati selain ahli hadits banyak yang bermadzhab al-Asy’ari di bidang akidah, mereka juga bermadzhab Syafi’i dalam bidang fikih.
Dukungan dan legitimasi para ahli hadits terhadap madzhab al-Asy’ari menjadi kekuatan tersendiri. Sehingga madzhab al-Asyari kemudian diikuti oleh para sufi dan ahli fikih.
Imam Abu Hasan al-Asy’ari juga turut membantu pengikut Imam Ahmad bin Hanbal dalam menghalau mu’tazilah.
Sejak tragedi yang disebut mihnah al-Qur’an di zaman imam Ahmad hingga generasi para pengikutnya, mu’tazilah menghegemoni sebagian pemikir. Hingga tampil imam Abu Hasan al-Asy’ari menghalau mu’tazilah dengan logika-logika Kalam yang belum digunakan imam Ahmad. Keberhasilan Kalam Imam Asy’ari ini disambut oleh pengikut madzhab Hanbali generasi awal dan para ahli hadits.
Keberhasilan imam Abu Hasan al-Asy’ari menangkis logika-logika sesat mu’tazilah secara rasional itu menambah garansi para ahli hadits untuk diikuti.
Tercatat para ahli hadits yang bermadzhab Asy’ari banyak yang memberi sumbangan dalam penyusunan ilmu musthalah hadits.
Pada awal abad ketiga hijriyah pembahasan ilmu musthalah hadits dan kaidah-kaidahnya belum tersusun rapi sistematis dalam satu naskah.
Baru pada tahun-tahun berikutnya Imam Ali bin al-Madini, guru imam al-Bukhari, disebut sebagai ulama yang pertama kali menyusun ilmu hadits secara sistematis (Musthafa Assiba’i, al-Hadits Sebagai Sumber Hukum Serta Latar Belakang Historisnya, hal. 172).
Kemudian tampil al-Hafidz Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi seorang ahli fikih, sejarah dan hadits bermadzhab Asy’ari. Beliau dicatat sebagai perintis dalam penulisan ilmu dirayah hadits (ilmu kritik hadits). Al-Baghdadi menyusun kaidah-kaidah rawi dalam kitabnya al-Kifayah fi ‘ilmi Riwayah. Kaidah-kaidah menerima dan menyampaikan hadits ditulis oleh al-Baghdadi dalam kitabnya berjudul al-Jami’ li Adabis Syaikhi wa al-Sami’. Dua kitab ini merupakan kitab induk ilmu dirayah. Sebab, kitab-kitab tentang ilmu dirayah setelah generasi al-Baghdadi kebanyakan menginduk kepada al-Baghdadi ini (Muhammad Idrus Ramli, Madzhab al-Asy’ari Benarkah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 133).
Ulama madzhab Asy’ari lainnya yang memberi kontribusi dalam ilmu hadits di antaranya al-Qadhi Iyadh al-Andalusi al-Maliki. Seorang ahli fikih, teologi, sastra dan qadhi di Andalusia. Kitabnya al-Syifa bi Ta’rifi Huquqi al-Musthafa, kitab tentang keagungan Rasulullah Saw, banyak mengutib pembesar madzhab al-Asy’ari yaitu al-Baqilani dan imam al-Haramain.
Karya ilmu haditsnya yang terkenal adalah al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul al-Riwayah wa Taqyid al-Sima’. Kitab ini merupakan karya tentang ilmu riwayah dengan menjadikan kitab al-Kifayah fi ‘ilmi Riwayahi yang ditulis oleh al-Khatib al-Baghdadi sebagai referensinya. Selain itu, terdapat karya kitab hadits lainnya yaitu; Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, al-Ikmal fi Syarh Shahih Muslim, dan Syarh Hadits Umm Zar.
Setelah generasi Qadhi Iyadh dan Ibnu Shalah, terdapat karya ilmu hadits yang sistematis yaitu, Ikhtisharu Ulumi al-Hadits, ditulis oleh al-Hafidz Ibnu Katsir. Seorang mufassir yang pakar hadits bermadzhab Asy’ari. Dalam kitab Tafsirnya, kita dapati pendapatnya mengikuti metodologi tafwidh dan ta’wil.
Kitab Ikhtisharu Ulumi al-Hadits digunakan sebagai referensi mempelajari musthalah hadits. Kitab ini disyarh oleh Ahmad Muhammad Syakir dengan judul Alba’itsul Hadits. Dalam bidang Jarh wa Ta’dil Ibnu Katsir menulis kitab berjudul al-Takmil fi Ma’rifati Tsiqat wa Dhu’afa wa Mahahil.
Dalam ilmu jarh wa ta’dil Ibnu Katsir berpendapat bahwa untuk menetapkan cacat tidaknya seorang rawi diperlukan pencantuman argumentasinya. Argumentasi ini menurut Ibnu Katsir harus mengandung deskripsi latar belakang kehidupan rawi selengkapnya, sehingga setiap orang yang menganalisisnya menempatkan masalahnya dalam konteks yang tepat.
Karya ilmu musthalah Ibnu Katsir kemudian diteruskan oleh al-Hafidz Zainuddin al-Iraqi dalam kitabnya berjudul al-Fiyat al-Hadits, kitab musthalah hadits dalam bentuk nadzam (syair) sebanyak seribu bait.
Al-Hafidz Zainuddin al-Iraqi diakui sebagai ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu hadits. Terutama dalam bidang takhrij hadits. Beliau lah yang berjasa mentakhrij hadits dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin. Karya hadits lainnya adalah; al-Taqyid wa Idhah lima Ubhima wa Ughliqa min Muqaddimat Ibn al-Shalah kitab berisi penjelasan terhadap kitab musthalah hadits karya Ibn Shalah (Muhammad Idrus Ramli, Madzhab al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah wal Jama’ah, hal. 133).
Imam al-Daruqutni al-Asy’ari juga disebut di antara jajaran pelopor ilmu Jarh wa Ta’dil. Al-Hafidz al-Imam al-Daruqutni menulis kitab hadits Sunan al-Daruquthni, al-‘Ilal dan al-Afrad. Kitab al-‘Ilal membahas tentang rawi-rawi yang dha’if. Kitab ini menjadi salah satu rujukan penting dalam ilmu jarh wa ta’dil.
Di jajaran perawi hadits kita juga mengenal Imam al-Baihaqi. Selain ahli hadits beliau ahli kalam. Metodologi kalamnya yang mengikut imam Asy’ari dapat dibaca dalam kitabnya berjudul al-I’tiqad wa al-Hidayah ila Sabil al-Rasyad dan al-Asma’ wa al-Sifat. Di dalam ilmu hadits, beliau menulis Takhrij Ahadits al-Umm, al-Sunan al-Kubra, Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar.
Selain itu terdapat Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam al-Suyuthi dan Imam al-Nawawi, ulama madzhab al-Asy’ari yang karya haditsnya sangat dikenang oleh generasi ulama setelahnya.
Ibnu Hajar al-Asqalani bahkan dikenal dengan gelar Amir al-Mu’minin fi hadits, Imam al-Huffadz (pemimpin para ahli hadits) dan hafidz al-Dunya Muthlaqan (hafidz kaliber sedunia secara mutlak).
Imam Jalaluddin al-Suyuthi menulis karya hadits yang popular di kalangan ulama hingga kini yaitu, al-Jami’ al-Shaghir, Jam’ul Jawami’,dan Tadrib al-Rawi. Beliau mendapat gelar al-musnid, al-hafidz, al-ushuli dan lain-lain.
Sumbangan tak kalah pentingnya diberikan oleh Imam al-Hafidz al-Nawawi al-Asy’ari. Dalam bidang hadits beliu menyandang gelar agung al-hafidz al-auhad (hafidz satu-satunya).
Kontribusinya dalam bidang hadits beliau menulis syarh (penjelas) Shahih Muslim, Syarh al-Bukhari, al-Adzkar, al-Arba’in al-Nawawiyah, al-Irsyad fi Ulumi al-Hadits, Taqrib wa al-Taisir. Kitab-kitab teresebut mendunia, digunakan oleh berbagai kalangan kelompok.
Selain yang disebut di atas, masih banyak lagi yang ikut berperan membangun dan mempelopori perkembangan ilmu hadits. Baik dalam bidang ilmu riwayah, dirayah dan jarh wa ta’dil.*
Penulis Peneliti InPAS Surabaya