Oleh: A. Wafi Muhaimin
TULISAN Mun’im Sirry (MS), yang kata Denny JA dalam inspirasi.com adalah seorang scholar Islam asal Indonesia yang mengajar di universitas Amerika, perlu kiranya direspons karena dengan jelas membela perkawinan sesama senis. MS berargumentasi dengan dengan beberapa ayat dalam al-Qur’an dan juga perbedaan pendapat fuqaha (ulama fiqih) seputar sanksi bagi pelaku homoseksual. Berikut beberapa pernyataan MS dan sanggahan terhadap MS seputar al-Quran:
Pertama, argumen MS adalah dengan merujuk pada surat-surat dalam al-Qur’an yang menyinggung kisah nabi Luth, yaitu: 6: 85-87, 7: 78-82, 11: 73; 79-84, 15: 58-77, 21: 70-71; 74-75, 22: 43-44, 26: 160-176, 27: 55-59, 29:25; 27-34, 37: 133-138, 38: 11-14, 50:12-13, 54: 33-40, dan secara spesifik MS menyebutkan surat asy-Syu’ara: 165-166: “Mengapa kamu mendatangi laki-laki di antara ciptaan dan malah meninggalkan istri-istri yang tuhanmu ciptakan untukmu”. Dari ayat ini MS membuat kesimpulan bahwa kesalahan kaum Luth terletak pada hubungan seks di luar nikah atau semau-dewe dan dapat dikategorikan pemerkosaan. Oleh karena itu, jika hubungan seks dilakukan oleh sesama jenis dengan ikatan perkawinan, maka dapat dibenarkan. Sayangnya MS hanya fokus pada satu surah dan terkesan menafikan surah an-Naml ayat 55 yang berbunyi: “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat(mu) bukan (mendatangi) perempuan? Sungguh kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)”, dan juga surah al-A’raf 80-81 dengan redaksi: “Dan (kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini), sungguh kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampui batas”. Bahkan sangat disayangkan juga, MS tidak menyebutkan dialog nabi Luth dengan kaumnya sebagai bentuk “negosiasi” yang diabadikan dalam surat Hud: 78: “Wahai kaumku! Inilah putri-putri (negeri)ku mereka lebih suci bagimu….”.
Kalau MS mau jujur dan tidak hanya fokus pada ayat 165-166 dalam Surah asy-Syu’ara, niscaya MS akan berkesimpulan bahwa pelarangan LBGT bukan terletak pada “karena mereka tidak menikah”, melainkan karena mereka telah menyalahi fitrah kemanusiaannya, yaitu dengan menyetubuhi sesama jenis.
Andaikan persoalannya karena tidak menikah, niscaya nabi Luth tak perlu menawarkan putri-putrinya, langsung saja mereka dinikahkan dengan sesama jenisnya. Ayat-ayat tentang kisah kaum luth yang tersebar dalam beberapa surah dalam al-Quran bukan untuk dipertentangkan, melainkan saling melengkapi satu sama lain, termasuk ayat yang disebut oleh MS di atas.
Ayat tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa yang boleh disetubuhi hanyalah seorang istri, sedangkan perempuan yang bukan istrinya atau kaum lelaki tidak boleh digauli.
Kedua, Saya sepakat bahwa pelanggaran kaum Luth bertumpuk-tumpuk, tidak hanya perilaku homoseksual. Namun bukan berarti kita menganggap bahwa perilaku sodomi/homoseksual bukan bagian dari pelanggaran agama.
Kisah-kisah nabi terdahulu memiliki ciri khas pelanggaran kaumnya masing-masing; ada yang kaumnya suka mengurangi timbangan, ada yang suka sihir dan lain sebagainya. Dan ciri khas yang menimpa kaum nabi luth adalah tradisi homoseksual sehinggal dalam kisah nabi Luth al-Quran fokus menjelaskan tentang pelanggaran ini. Sedangkan perilaku menentang Allah, menentang nabi, membunuh dan lain sebagainya hampir menimpa semua umat para nabi. Dan kisah-kisah tersebut menjadi pelajaran berharga bagi generasi berikutnya agar tidak ditiru.
Ketiga, MS mengatakan: “Sebagaimana tidak ada dalil yang secara eksplisit melarang perkawinan sejenis, juga tidak ada dalil yang jelas-jelas membolehkannya”. Dari sini MS menawarkan konsep “maslahah” yang bermuara pada terwujudnya kesetaraan, keadilan dan kehomatan manusia.
Dalam hal ini, MS dengan cerdik menyoal hukum larangan LGBT dalam al-Quran dan hadits lalu berkesimpulan bahwa tidak ada larangan secara eksplisit perihal perkawinan sesama jenis. Setelah itu, ditawarkanlah konsep maslahah. MS sadar bahwa maslahah ketika bertentangan dengan nash akan tertolak dan dapat digugurkan, sehingga agar perkawinan sesama jenis mendapatkan legalitas dan berjalan dengan mulus, ia membuat kesimpulan bahwa al-Qur’an dan hadits tak melarang secara eksplisit.
Logika kebolehan menikah sesama jenis dengan alasan hanya karena tidak ada larangan secara eksplisit dalam al-Quran dan hadist adalah logika yang dipaksakan. Al-Quran tidak pernah menjelaskan larangan menikahi hewan, apakah karena al-Quran tidak melarang secara eksplisit lantas menikah dengan hewan dibolehkan? al-Quran dan hadist ketika berbicara tentang perkawinan kalau kita perhatikan semuanya berkonotasi kepada “nikah beda jenis”. Adapun dalam persoalan maslahah, jika kita tidak menggunakan rambu-rambu agama, maka ia akan menjadi bola liar; pencuri, penzina, pemain judi dan lain sebagainya harus dibela dan didukung atas nama maslahah. Bukankah mencuri juga memberi maslahah bagi si pencuri dan keluarganya? Bukankah prostitusi juga memberikan manfaat untuk pelaku dan lingkungan sekitarnya?
Mari kita belajar menukil al-Qur’an dengan jujur. Jangan hanya sepotong-sepotong sesuai dengan selera “kepentingan”. Kalau hanya karena kasihan pada pelaku LGBT, tak perlu lah mencari pembenaran dan mendukung mati-matian. Mari kita bantu mereka untuk keluar dari kemelut LGBT dengan memberikan bimbingan dan penyadaran. Karena apapun alasannya, perilaku semacam itu tidak dapat dibenarkan oleh agama dan akal sehat manusia. Wallahu a’lam.* Bersambung…
Penulis seorang guru ngaji di Pesantren Kampung, tinggal di Cisarua Bogor