Hidayatullah.com– Perekomian China mengalami deflasi seiring dengan penurunan harga barang pada bulan Juli untuk pertama kalinya dalam kurun lebih dari dua tahun.
Indeks harga konsumen resmi, yang memjadi ukuran inflasi, turun 0,3% bulan lalu dari tahun sebelumnya.
Para analis mengatakan hal ini menambah tekanan terhadap pemerintah yang sedang berupaya memulihkan permintaan di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu, lansir BBC Rabu (9/8/2023).
Kondisi ini menyusul data impor dan ekspor yang lemah, yang menimbulkan pertanyaan tentang kecepatan pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19 di China.
Tiongkok juga sedang menangani utang pemerintah daerah yang membengkak dan tantangan di pasar perumahan. Pengangguran kaum muda, yang mencapai rekor tertinggi, juga mendapat perhatian karena ada 11,58 juta lulusan universitas diharapkan dapat memasuki pasar kerja China tahun ini.
Penurunan harga mempersulit China untuk menurunkan utangnya – dan semua tantangan yang berpangkal dari masalah itu seperti tingkat pertumbuhan yang lebih lambat, kata para analis.
“Tidak ada ‘resep saus rahasia’ yang bisa diterapkan untuk mengangkat inflasi,” kata Daniel Murray dari perusahaan investasi EFG Asset Management.
Kebanyakan negara maju mengalami lonjakan pembelanjaan oleh konsumen setelah berbagai pembatasan Covid-19 dicabut. Orang-orang yang sebelumnya menabung tiba-tiba mampu dan mau membelanjakan uangnya, sementara bisnis berusaha untuk memenuhi permintaan.
Tingginya permintaan barang yang pasokannya terbatas – ditambah dengan kenaikan harga energi akibat invasi Rusia ke Ukraina – menyebabkan harga-harga melambung.
Namun, kondisi seperti itu tidak terjadi di China, di mana harga tidak melonjak usai pembatasan Covid-19 berakhir. Harga konsumen justru menurun pada Februari 2021.
Bahkan faktanya deflasi sudah tampak selam berbulan-bulan, tidak bergerak naik pada awal tahun ini karena permintaan yang lemah. Harga yang dikenakan oleh produsen China – dikenal sebagai factory gate prices – juga turun.
“Deflasi tidak akan membantu China. Utang akan semakin berat. Semua ini bukanlah kabar baik,” kata Alicia Garcia-Herrero, seorang asisten profesor di the Hong Kong University of Science and Technology.
Apabila harga barang China yang murah membanjiri pasar global, hal itu dapat berdampak negatif pada produsen di negara lain. Kondisi ini bisa memukul investasi oleh kalangan bisnis dan mempersempit lapangan kerja. Periode jatuhnya harga di China juga bisa memukul keuntungan perusahaan dan belanja konsumen. Hal ini kemudian dapat menyebabkan pengangguran yang lebih tinggi lagi.
Misal, harga sepatu murah buatan China membanjiri pasar negara A, tentunya konsumen akan tertarik membeli barang dengan harga lebih murah dan meninggalkan sepatu buatan negeri sendiri yang (umumnya) lebih mahal. Akibatnya, pabrik sepatu dalam negeri sepi order sehingga terpaksa mengurangi jumlah karyawan atau bahkan gulung tikar.*