Hidayatullah.com—’Israel’ harus membungkam keluarga sandera yang dibebaskan Hamas dari Jalur Gaza, dan bahkan kalau perlu memenjarakan mereka, kata mantan mata-mata Zionis, Jonathan Pollard, merujuk para tahanan yang banyak berbicara di media karena memuji kebaikan pejuang Al-Qassam, sayap militernya Hamas.
Saluran TV ‘Israel’ 14 memutar klip video yang menunjukkan Pollard menyampaikan maksudnya saat panggilan video dengan Rabbi Bar-Hayim dari Shilo Institute. Ia mengatakan Israel ‘seharusnya memberi tahu pihak keluarga (tahanan) agar menutup mulut karena telah mengganggu pengelolaan perang pihaknya dengan para pejuang Palestina.
“Ketika kami memutuskan untuk berperang, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengumumkan keadaan darurat dan memberitahu semua keluarga para sandera, ‘Kamu akan tutup mulut, atau kami akan tutup mulut untukmu,’ katanya dikutip Time of ‘Israel’.
“Kalian (keluarga sandera) tidak akan ikut campur dalam pengelolaan perang ini. Kamu tidak akan dimanfaatkan oleh komunitas internasional atau kelompok sayap kiri kami yang mengatur perjanjian Shalit, sebagai senjata melawan kami,'” katanya.
Pernyataan Pollard merujuk insiden perjanjian tahun 2011 yang diprotes banyak kelompok sayap kanan saat Zionis membebaskan lebih dari 1.027 tahanan Palestina dengan imbalan satu orang tentara penjajah ‘Israel’ bernama Gilad Shalit.
“Dan jika langkah tersebut melibatkan pemenjaraan, untuk membungkam keluarga para sandera, maka lakukanlah. (Karena) kita berada dalam situasi perang,” kata Pollard.
Jonathan Pollard, mantan perwira intelijen Angkatan Laut AS yang menjalani hukuman 30 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah melakukan tindakan mata-mata untuk Israel, memberikan pendapat bahwa negara Yahudi seharusnya mengurung keluarga para sandera pada 7 Oktober, sehingga menghilangkan segala hambatan dalam penuntutan perang mereka. melawan Hamas sepenuhnya.
Pollard sebelumnya dijatuhi hukuman beberapa dekade penjara di Amerika Serikat (AS) karena pelanggaran intelijen. Ia dibebaskan pada masa pemerintahan Barack Obama dan kemudian diizinkan pindah ke ‘Israel’ pada masa pemerintahan Donald Trump.
Dia juga mengecam Perdana Menteri ‘Israel’ yang menyetujui perjanjian tersebut baru-baru ini sambil bersikeras bahwa dia tidak akan memilih lagi partai Zionis sayap kiri yang mendukung penerapan perjanjian tersebut.
Menurutnya, ‘Israel’ harus terus melanjutkan perang tanpa kesepakatan apa pun, meski akan memakan banyak korban jiwa yang disandera ‘Israel’ sendiri.
Sebagaimana diketahui, rezim teror ‘Israel’ berusaha melarang tawanan ‘Israel’ yang bebaskan Hamas berbicara di media karena kehawatiranya mereka berbicara jujur atas perlakukan yang baik para pejuang mujahidin Palestina yang selama ini dilakukan kepada mereka.
Pollard, kini berusia 66 tahun, menjual rahasia militer ke ‘Israel’ saat ia bekerja sebagai analis intelijen sipil untuk Angkatan Laut AS tahun 1980-an. Mantan perwira intelijen ini dinyatakan bersalah dan telah menjalani hukuman 30 tahun penjara.
Dia ditangkap pada tahun 1985 setelah gagal mendapatkan suaka di Kedutaan Besar Israel di Washington dan mengaku bersalah. Masalah ini mempermalukan ‘Israel’ dan sempat merusak hubungan keduanya selama bertahun-tahun.*