Hidayatullah.com–Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis buka suara soal berita menyesatkan tentang Gua Safarwadi di Pamijahan, Kabupaten Tasikmalaya yang lorongnya diklaim bisa tembuk Makkah al Mukarramah.
Menurutnya, kabar Gua Safarwadi bisa menembus sampai ke Makkah merupakan mitos belaka.
“Mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, seringkali masyarakat itu mencari legitimasi terhadap keyakinannya atau legitimasi terhadap keinginannya. Di antara kita semua yakin bahwa umrah itu dianjurkan kemudian haji itu diwajibkan (jika mampu). Kemudian dari keyakinan itu mereka punya keinginan. Nah, dari keinginan yang mungkin tak tercapai apakah memang ekonomi terbatas kemudian juga antrean yang panjang kalau yang mau haji sehingga masyarakat itu kadang-kadang mencari pembenaran. Itu teori psikologinya ya,” katanya di acara Apa Kabar Indonesia Pagi, TVOne Selasa (11/2/2025).
“Jadi mitos yang tak faktual. Itu hanya khayalan. Masyarakat perlu disadarkan bahwa ini (Gua Safarwadi) bukan tempat ibadah. Mungkin gua ini bisa dijadikan napak tilas yang dulunya ada sejarah bagaimana pendakwah datang, menyendiri tahanus dengan Allah, mungkin iya di tempat itu,” terangnya.
Di Luar Akal Sehat
PP Muhammadiyah juga menanggapi viralnya gua sepanjang 284 meter, yang memiliki dua pintu –menghubungkan Kampung Pamijahan dan Kampung Panyalahan– dan kini dibanjiri banyak orang yang ingin umrah atau haji ke Makkah ini.
Menanggapi fenomena ini, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Dadang Kahmad, menekankan perlunya dakwah yang menncerahkanan agar masyarakat tidak mudah mempercayai hal-hal di luar nalar akal sehat.
“Memang tempat yang dipercayai oleh orang selalu ada cerita di luar logika untuk menarik perhatian dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap situs tersebut,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hal mistik masih kuat, sehingga cerita-cerita yang tidak rasional sering diterima sebagai kebenaran. “Di sinilah perlunya dakwah pencerahan, agar masyarakat tidak terjebak dalam keyakinan yang tidak berdasar,” lanjutnya.
Menurutnya, dakwah pencerahan harus dilakukan melalui penjelasan terhadap teks suci, baik secara bayani (tekstual), burhani (rasional), maupun irfani (spiritual), sehingga ruang bagi kepercayaan yang tidak rasional dapat diminimalkan.*