Hidayatullah.com– Lebih dari dua ratus orang, termasuk perempuan dan anak-anak, tewas di Suriah akibat ledakan bom dan ranjau sisa perang sipil kurun tiga bulan setelah rezim Bashar Assad ditumbangkan. Jumlah korban meningkat seiring dengan kepulangan sekitar 1,2 juta orang ke kampung di mana rumah mereka dulu berada.
Ribuan ranjau darat, amunisi dan bom yang belum meledak sisa perang saudara hampir 15 tahun lamanya masih bertebaran di mana-mana, di perkotaan maupun pedesaan.Anak-anak sangat rentan terhadap bom curah, terkadang mereka mengira bom itu sebagai mainan.
Sampai pekan lalu, 640 orang telah tewas atau terluka, menurut organisasi amal peduli bahaya ranjau darat terbesar di dunia, Halo Trust.
Laporan PBB sebelumnya menemukan bahwa sepertiga korbannya adalah anak-anak.“Kita tidak dapat mengatakan bahwa ada daerah di Suriah yang aman dari sisa-sisa perang,” kata Mohammed Sami Al Mohammed, koordinator program pembersihan ranjau di Syrian Civil Defence atau yang lebih dikenal sebagai White Helmets, sebuah LSM yang didanai pemerintah sejumlah negara dan organisasi internasional.
Mohammed mengatakan butuh waktu puluhan tahun untuk menyingkirkan ranjau dan membuat Suriah aman.
“Ada sejumlah negara yang sudah mengakhiri perang 40 tahun silam, meskipun demikian mereka masih belum dapat sepenuhnya membersihkan bahaya itu. Masalahnya tidak sederhana dan apa yang terjadi di Suriah lebih merusak daripada apa yang terjadi di tempat-tempat lain.”
Sejumlah relawan membantu menyingkirkan ranjau darat, tetapi malangnya nyawa mereka sendiri juga menjadi korban.
Sejak kejatuhan rezim Assad Desember 2024, Fahd al-Ghajar, 35, kerap mengunggah di laman Facebook foto kegiatannya membersihkan ranjau di berbagai lokasi di Suriah.
Dalam salah satu unggahannya dia mengaku bangga karena sudah membantu membersihkan ranjau dari lahan yang dipakai hewan ternak merumput.
Pada bulan Februari, Ghajar menulis tentang kematian salah satu rekannya. “Suriah memang bebas, tetapi kami, tim teknik, kehilangan seseorang setiap hari. Pada akhirnya, kami semua akan mati; yang penting adalah membersihkan negeri ini [dari ranjau].”
Maut akhirnya benar-benar menjemput Ghajar. Pada 21 Februari dia terbunuh oleh ledakan ranjau darat saat membersihkan ranjau di sebuah ladang di Suriah bagian utara. Dia berhasil membersihkan rumah yang ada di sekitar ladang, tetapi sebuah ranjau meledak saat ia sedang memeriksa ladang, yang langsung merenggut nyawanya, kata saudara lelakinya Abduljabbar Alghajar seperti dilansir The Guardian Senin (17/3/2025).
Ghajar, yang berstatus menikah dan memiliki empat anak, dulu belajar cara menanam dan menyingkirkan ranjau saat masih berdinas di militer Suriah sebelum pecah perang sipil 2011. Dia kemudian meninggal militer dan bergabung dengan kelompok oposisi yang berusaha menjatuhkan rezim Assad.
“Dia mengorbankan nyawanya sehingga orang lain bisa hidup,” kata Alghajar.
Dia terkenang kata-kata yang kerap diucapkan saudaranya, “Negara ini sudah dibebaskan, dan kami, para ahli tehnik, harus berdiri bersama rakyat dan menyingkirkan ranjau-ranjau supaya mereka dapat pulang ke rumah-rumah mereka.”*