Hidayatullah.com—Lebih dari 250 mantan pejabat badan intelijen ‘Israel’ Mossad menerbitkan petisi baru hari Ahad malam menyerukan segara diakhirinya perang di Gaza serta memfasilitasi pembebasan para sandera, menurut media ‘Israel’.
“Surat yang diinisiasi mantan anggota Mossad Gail Shorsh tersebut, memiliki tanda tangan tiga mantan pemimpin Mossad yaitu Danny Yatom, Ephraim Halevy dan Tamir Pardo, serta puluhan kepala departemen dan wakil kepala departemen lembaga itu,” ujar harian Yahudi, Yedioth Ahronoth.
Ini petisi kedua dalam 24 jam yang ditandatangani mantan dan anggota aktif pasukan penjajah ‘Israel’.
Petisi tersebut menambah gelombang penolakan publik yang terus berkembang di kalangan lembaga keamanan ‘Israel’.
Sejak Kamis, sedikitnya enam petisi telah ditandatangani oleh pasukan cadangan, perwira militer yang telah pensiun, serta para veteran dari berbagai cabang militer penjajah ‘Israel’.
Dokter dan Pasukan Elit Ingin Akhiri Perang
Sebelumnya pada Ahad, ratusan prajurit cadangan dari Unit Intelijen elit Israel 8200, bersama dengan sekitar 2.000 anggota akademisi, telah menandatangani petisi yang menyerukan diakhirinya perang di Gaza, menurut laporan di media Israel.
Kalan 12 Israel mengutip pernyataan dari sekelompok akademisi yang menyatakan bahwa hanya kesepakatan politik, bukan tekanan militer yang berkelanjutan, yang dapat mengamankan pembebasan tawanan ‘Israel’ yang saat ini ditahan di Gaza.
Mereka memperingatkan bahwa operasi militer sering kali mengakibatkan kematian para tawanan tersebut dan menuduh pemerintah memprioritaskan agenda politik dan pribadi daripada masalah keamanan yang sebenarnya.
Kanal 13 Israel melaporkan bahwa anggota Unit 8200 menyampaikan kekhawatiran serupa dalam petisi mereka, memperingatkan bahwa memperpanjang perang akan mengorbankan nyawa tentara dan tahanan ‘Israel’.
Mereka juga membunyikan alarm atas gelombang penolakan para prajurit cadangan untuk bertugas.
Sementara itu, Radio Angkatan Darat Israel mengatakan sekitar 100 dokter militer cadangan juga menandatangani surat yang mendesak diakhirinya perang.
Sebagai tanggapan, Kepala Staf Israel Eyal Zamir menyetujui pemecatan perwira senior dan sekitar 1.000 prajurit cadangan yang mendukung petisi tersebut.
Zamir menyatakan bahwa para prajurit tidak dapat secara terbuka menentang perang dan kemudian kembali bertugas dengan seragam, menyebut tindakan mereka sebagai pelanggaran serius.
Secara terpisah, 970 prajurit cadangan Angkatan Udara Israel yang masih bertugas dan yang sudah pensiun merilis surat yang menuntut agar semua tahanan Israel yang ditahan di Gaza segera dipulangkan—bahkan jika itu mengharuskan penghentian kampanye militer.
Petisi tersebut menarik perhatian nasional dan menimbulkan kontroversi internal di dalam Angkatan Udara Israel, menurut Otoritas Penyiaran Israel.
Di antara para penandatangan tersebut terdapat tokoh-tokoh berpangkat tinggi, termasuk mantan Kepala Staf Letnan Jenderal (purn.) Dan Halutz, mantan Panglima Angkatan Udara Mayjen (purn.) Nimrod Sheffer, dan mantan kepala Otoritas Penerbangan Sipil Kolonel (purn.) Neri Yarkoni.
Namun Menteri Pertahanan ‘Israel’ Israel Katz dengan tegas menolak petisi tersebut, menggambarkannya sebagai upaya untuk mendelegitimasi apa yang disebutnya sebagai “perang yang adil.”
Pesan para penandatangan tersebut telah diliput secara luas di media Israel, muncul saat perang di Gaza, yang didukung oleh Amerika Serikat, berlanjut hingga bulan ke-18.
“Kami, anggota cadangan dan awak udara yang sudah pensiun, menuntut agar para korban penculikan dikembalikan ke rumah mereka tanpa penundaan, bahkan dengan mengorbankan penghentian permusuhan segera,” demikian bunyi surat tersebut.
Militer penjajah tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa lebih banyak lagi anggota cadangan yang aktif akan bergabung dalam seruan yang semakin meningkat untuk mengakhiri perang.
Sementara otoritas penjajah memperkirakan bahwa 59 tawanan masih berada di Gaza, 24 di antaranya diyakini masih hidup, lebih dari 9.500 warga Palestina saat ini ditahan di penjara-penjara Israel.
Genosida yang Berkelanjutan
Aksi genosida ‘Israel’ yang kembali terjadi pada 18 Maret telah mematahkan gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari. Aksi militer terbaru telah menyebabkan ratusan warga Palestina syahid, melukai lebih banyak lagi, terutama warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak.
Sementara pelanggaran tersebut telah dikutuk oleh banyak negara dan kelompok hak asasi manusia.
Sebagaimana biasa, AS terus mendukung penjajah ‘Israel’, dengan menegaskan bahwa kampanye militer tersebut dilakukan dengan pengetahuan dan persetujuan sebelumnya dari Washington.
Sejak Oktober 2023, penjajah telah membunuh lebih dari 50.000 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan meninggalkan Gaza dalam keadaan hancur.
Pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, menuduh mereka melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
‘Israel’ juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas tindakannya di wilayah pantai yang dikepung tersebut.*/aj,aa