Hidayatullah.com–DPW Hadhramaut Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Yaman kembali menggelar diskusi pemikiran kekinian pada Kamis (15/02/2013). Diskusi yang digelar di Auditorium Universitas Al-Ahgaff ini merupakan salah satu wujud program kerja dari Departemen Pendidikan dan Dakwah.
Hadir sebagai narasumber kali ini, Muhammad Roby Ulfi Zaini dengan mengangkat tema seputar masalah “Dikotomi Ilmu Pengetahuan” dalam dunia Islam.
Menurut Roby, tujuan mengangkat topik ini tak lain adalah untuk memberikan pemahaman kepada semua orang tentang istilah dikotomi ilmu pengetahuan dalam Islam yang selama ini telah salah dipahami.
Roby berharap bias menyadarkan agar umat Islam lebih berfikir kritis hingga tidak lagi dianggap sebagai umat yang terbelakang dalam hal ilmu pengetahuan.
Mantan Sekretaris PPI Yaman 2011-2012 dan wakil ketua PCI NU Yaman ini memulai presentasinya dengan memaparkan sejarah ilmu pengetahuan beserta cabang-cabangnya serta mengutip beberapa tokoh ulama dalam berbagai disiplin keilmuan. Misalnya, Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Ghozali, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya.
Mereka, menurut Roby, merupakan bukti bahwa tidak ada dikotomi ilmu pengetahuan dalam Islam.
Munculnya dikotomi ilmu pendidikan menurut Roby dimulai ketika kaum Barat melakukan invansi ke pelbagai negara Islam yang saat itu begitu maju perkembangan ilmu pengetahuannya, seperti Palestina (1095 M), Baghdad (1259 M), dan Andalusia (1429 M).
Setelah penaklukan ini, model dikotomis mulai mewujud dalam realitas sejarah pendidikan Islam. Implikasi dari adanya dikotomi ini, terlihat dalam pengembangan pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah dunia dianggap tidak urgen.
Bahkan, sudah banyak generasi selanjutnya yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan umum bersumber dari orang Barat. Padahal, sejatinya ulama Islamlah yang merintis berbagai disiplin keilmuan tersebut.
Selanjutnya, Muhammad yang hadir sebagai pembanding, juga sependapat bahwa sebenarnya tidak hanya faktor eksternal saja yang mempengaruhi munculnya istilah dikotomi dalam Islam, tapi juga faktor internal dalam umat Islam itu sendiri.
Seperti kurangnya dukungan moral dan materi dari Khalifah pada zaman itu terhadap para ilmuan Islam dalam penelitiannya. Berbeda jauh jika ada seorang penyair yang memuja dirinya maka seketika itu pula bantuan moral dan materi mengalir.
Tidak hanya itu, faktor lain dari penyebab munculnya istilah dikotomi ilmu pengetahuan dalam Islam karena umat Islam kurang menyadari bahwa segala bentuk ilmu pengetahuan umum sejatinya telah termaktub dalam al-Qur’an. Jika saja umat Islam mampu cermat dalam menerapkan teks ke konteks dalam artian menerapkan isi kandungan al-Qur’an terhadap realitas kekinian, maka dari situ telah diketahui bahwa Islam pun menganggap penting ilmu pengetahuan umum.
Disksusi semakin seru manakala sampai pada sesi tanya jawab. Setelah sepakat bahwa tidak ada istilah dikotomi ilmu pengetahuan dalam Islam, berbagai pendapat serta saran banyak bermunculan apalagi—meminjam istilahnya Agus Maftuh Abegebriel — ketika para “santri garuda” ini beradu pendapat tentang sistem pendidikan apakah yang cocok untuk diterapkan di Indonesia kelak.
Sebagian ada yang berpendapat agar menyetarakan porsi ilmu agama dengan umum. Sebagian lagi berpendapat sistem pendidikan yang baik adalah melihat sisi kemampuan siswa itu sendiri tanpa meninggalkan dasar ilmu agama.
Diskusi yang berlangsung selama dua jam setengah ini akhirnya menghasilkan keputusan sebagai rekomendasi untuk pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, Kemenag maupun lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Pertama, menjadikan ranah pendidikan sebagai komoditi murah meriah bagi seluruh rakyat dalam setiap jenjangnya. Kedua, mengikis kebijakan dikotomi antara sekolah umum, madrasah dan pesantren. Ketiga, meminimalisir setiap sistem pendidikan yang menciptakan pandangan dikotomis. Keempat, merevitalisasi sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan spirit Pancasila dan UUD 1945. Kelima, untuk para cendekiawan Muslim, agar berupaya merumuskan sistem pendidikan Islam terpadu yang ideal.
Launching Buku
Setelah acara diskusi, dilanjutkan dengan launching buku “Kodifikasi Interdisipliner”: Kumpulan Paper Presented.” Sebuah buku mungil yang memuat karya ilmiah yang secara khusus menyoroti pemikiran tokoh Muslim klasik-kontemporer dan isu-isu seputar keindonesiaan.
“Buku ini merupakan wujud dari potensi pelajar timur tengah untuk bisa menggambarkan pengetahuan mereka dalam bentuk tulisan disela-sela kesibukan tuntutan belajar yang tiada henti,” tutur Pandi Yusron, Ketua DPW Hadhramaut dalam peluncuran buku tersebut. */Adly Al-Fadlly, Mahasiswa jurusan syariah Universitas Al-Ahgaff, Hadhramaut-Yaman