Hidayatullah.com–Pembahasan pendidikan seksualitas kerap memenuhi berbagai media menjelang peringatan hari AIDS Sedunia tiap tanggal 1 Desember.
WHO melansir faktor tertinggi penyebab tersebarnya penyakit mematikan ini adalah karena seks bebas.
Oleh karena itu, tak jarang pula berbagai pelatihan terkait kesehatan reproduksi diselenggarakan untuk para guru dan murid, sebagai upaya mengurangi penyebaran HIV/AIDS. Misalnya CSE Fair 2015 yang diselenggarakan UPT LBK UNJ, bertajuk “Pendidikan Seksualitas Komprehensif untuk Semua”, di Aula Brigjen Latief Hendraningrat, Kampus A Universitas Negeri Jakarta, Senin (30/11/2015).
Namun nada kecewa datang dari Tetraswari Diahingati, S.E, ibu dari empat anak yang juga aktif di AILA (Aliansi Cinta Keluarga) dan CGS (the Center for Gender Studies).
Menurutnya, Comprehensive Sexuality Education (CSE) berpotensi membuat benturan keras antara anak dan orang tua.
“Setelah remaja mendapatkan pemahaman mengenai CSE, akan terjadi benturan keras antara anak dan orang tua. Mengapa demikian? Karena orang tua tidak diberi peran terhadap penentuan perkembangan seksualitas anak. Mereka hanya dibolehkan menjadi fasilitator, tanpa boleh memutuskan. Maka, ketika pemahaman orang tua berbeda dengan apa yang didapat anak dari CSE, benturan bisa terjadi. Hubungan orang tua dan anak akan menjadi menjauh,” Jelasnya seusai acara.
Tra, sapaan hangat untuknya, menegaskan bahwa CSE Fair adalah propaganda untuk melakukan program CSE di lembaga-lembaga pendidikan kita (Indonesia). Khususnya lembaga-lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah. Padahal konsep tersebut bermasalah.
“Tadinya saya pikir CSE akan memberikan ilmu baru pada saya tentang bagaimana menyampaiakan sexuality education pada remaja. Ternyata CSE adalah penenaman konsep barat tentang diri, dan hak diri termasuk hak seksualitas seseorang, khususnya remaja, yang tidak boleh digangu gugat oleh siapapun kecuali diri sendiri,” tegasnya.
Pada sesi awal, Jo Reinders dari Rutgers WPF Belanda memang menyatakan CSE itu mencakup aspek yang sangat luas. Tidak hanya berbicara tentang penyakit, HIV/AIDS, IMS, kekerasan seksual, tapi juga tentang pubertas, kesadaran diri, dan kebanggaan diri. Seksualitas itu indah, maka CSE tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga membekali dengan skill untuk bisa membuat pilihan. Mengatakan ya atau tidak. Membantu membuat kesepakatan dan keputusan.
“We also talk about love, feelings, respect, responsibility, negotiation, choices, and gender. Who am I? How do I feel comfortable? Not only about HIV/ AIDS, IMS and abuse. Sexuality is beautiful,” ujarnya di hadapan sekitar 200 pendidik dan peserta didik yang hadir.
Tra yang juga aktif di Peduli Sahabat ini menyatakan bahwa CSE sangat tidak sesuai dengan konsep pendidikan pemuda Islam. Menurutnya, pada CSE, remaja diberi pemahaman bahwa tubuh kita adalah hak diri kita dan tanggungjawab diri sendiri. Maka jika kita sudah memilih, terlepas apapun pilihan itu-apakah ingin melakukan seks sebelum menikah, setelah menikah, atau homoseksual, transgender, tidak boleh ada seorangpun yang menggugat.
“Mereka tidak fokus untuk mengajarkan anak-anak agar menghindari hubungan seksual sebelum menikah. Mereka hanya mengajari anatomi tubuh, perubahan pada tubuh dan hormon, serta risiko-risiko yang terjadi. Selebihnya terserah anak-anak. Jika mereka siap menanggung segala risiko, silakan saja. Jika tidak ingin hamil atau tertular HIV maka pakailah kondom. Bukankah ini mengerikan?” tanyanya retoris.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sosok yang pernah tinggal di Amerika ini pun menyayangkan konsep CSE tidak memperhatikan budaya dan agama setempat. Serta tidak mengindahkan nilai-nilai yang dianut oleh keluarga.
“Nilai dan norma yang berlaku dan dianut dianggap tidak ada karena itu semua mereka anggap mengekang kebebasan. Modul dan alat peraga mereka pun vulgar, jauh dari nilai-nilai Islam,” pungkasnya.
CSE Fair 2015 ini menyelenggarakan dua sesi diskusi. Yang pertama membahas “CSE is important, why wait?”. Kedua, tentang bullying berbasis gender.
Setelah itu acara dilanjutkan dengan diskusi paralel dengan empat tema berbeda. Rencananya, kegiatan yang baru pertama kali ini diadakan ini akan terus diselenggarakan tiap tahunnya.*/kiriman Nunu Karlina (Jakarta)