Hidayatullah.com–Senin, 19 Januari 2010, Mahmud Al Mabhuh tiba di Dubai. Ia langsung menuju ke Hotel Al Bustan Rotana. Keesokan harinya, pria ini ditemukan terbaring tanpa nyawa di dalam kamar. Berdasarkan pemeriksaan, komandan militer Hamas itu meninggal sekitar lima jam setelah menjejakkan kakinya di Dubai.
Al Mabhuh disuntik Suxamethonium chloride dalam jumlah cukup banyak. Meskipun obat yang dijual dengan nama Anectine dan Scoline itu sulit dideteksi jika sudah memasuki masa postmortem, namun polisi berhasil mendeteksinya dari bercak cairan yang ada di kulit.
Setelah disuntik dengan cairan, yang juga digunakan Mossad untuk membunuh beberapa aktivis senior Palestina di Kuwait pada tahun 2001 itu, Al Mabhuh dicekik hingga menghembuskan nafas terakhir.
Dalam waktu 24 jam, polisi Dubai yang dipimpin Letjen Dhahi Khalfan Tamim berhasil mengidentifikasi 26 orang asing sebagai tersangka pelaku. Dua belas orang menggunakan paspor Inggris, enam paspor Irlandia, empat Prancis, tiga Australia dan satu Jerman. Selain itu, ada dua orang Palestina yang diduga ‘mengkhianati’ Al Mabhuh terlibat dalam kasus tersebut.
Ketiga negara Eropa tersebut langsung memanggil Dubes Israel, karena mereka menilai Mossad telah melakukan pemalsuan paspor. Tidak hanya itu, pihak Uni Eropa pun ikut berang atas pemalsuan itu. Respon mereka muncul setelah Dubai mempublikasikan foto 11 tersangka.
Paspor Palsu Sudah Biasa
Pemalsuan paspor memang bukan hal yang asing bagi Mossad. Mereka memiliki rentetan sejarah hitam mengenai hal ini.
Victor Ostrovsky, mantan anggota Mossad yang telah menulis dua buku tentang Mossad dan beberapa buku lain seputar aksi intelijen, dalam wawancaranya dengan radio publik Australia, ABC, pada 26 Februari 2010 mengatakan, “Mereka tidak mungkin bepergian dengan paspor Israel… Jadi kebanyakan operasi (Mossad) dilakukan dengan cara ‘false flag’. Artinya, Anda berpura-pura menjadi orang yang berasal dari negara lain, yang tidak terlalu bermusuhan dengan negara yang ingin Anda masuki.”
Israel, kata Ostrovsky, memiliki khusus alat memproduksi dokumen-dokumen palsu dengan menggunakan beragam jenis kertas dan tinta.
Agen-agen Israel sudah biasa menggunakan paspor negara lain dalam menjalankan aksinya. Paspor Kanada bahkan disebut-sebut sebagai salah satu paspor favorit, karena negara itu tidak dikenal sebagai negara imperialis atau memiliki musuh dan motif politik yang agresif seperti negara Barat lainnya.
Hampir di semua operasi yang mereka lakukan di luar negeri, menggunakan paspor negara lain. Berikut ini beberapa operasi yang melibatkan paspor ”aspal”:
Agen-agen Mossad menggunakan paspor Kanada ketika menjalankan misi pembunuhan Khalid Misy’al tahun 1997 di Amman, Yordania. Mereka berhasil menyemprotkan racun ke telinga Misy’al, namun operasi gagal karena ketahuan penjaga.
Surat kabar The Australian, pernah mengutip perkataan Ali Kazak, mantan wakil Palestina untuk Australia. Ali memperingatkan bahwa pada 2004, agen Mossad di Sydney telah memperoleh 25 paspor Australia.
Pada Maret 2004, dua agen Mossad diduga ditahan di Selandia Baru dan kemudian dihukum karena menipu untuk mendapatkan paspor dari negara tersebut. Kejadian itu memicu sanksi diplomatik.
Operasi pembunuhan terhadap Fathi As Shikaki, pendiri Jihad Islam pada Oktober 1995 di Malta, Mossad juga ditengarai menggunakan paspor palsu.
Pada 1987, Inggris juga pernah memprotes Israel mengenai pemalsuan paspor Inggris dan mengingatkan agar peristiwa itu tidak terjadi lagi pada masa mendatang.
Kegagalan Mossad pada 1997 dalam usaha membunuh Khalid Misy’al, juga ditengarai menggunakan paspor Kanada. Hal itu diketahui setelah Menteri Penerangan Yordania mencoba menutup-nutupi kasus itu dengan mengatakan bahwa peristiwa percobaan pembunuhan itu merupakan “bentrokan kecil” antara Khalid dan beberapa turis Kanada.
Sebelumnya, pada 1973, Mossad juga “apes.” Selain enam agennya tertangkap pasca kegagalan operasi pembunuhan di Norwegia, Israel juga menerima kemarahan dari pemerintah Kanada, karena telah menggunakan paspor dari negara tersebut.
Senjata Makan Tuan
Kebiasaan Mossad yang seenaknya sendiri memalsu paspor negara lain mungkin bisa menguntungkan pihak mereka dalam beberapa operasi sebelumnya. Namun, dalam kasus pembunuhan Al Mabhuh, kebiasaan buruk itu bisa menimbulkan blunder bagi pihak Mossad sendiri.
Di samping berhadapan dengan beberapa negara Eropa yang telah “dipinjam” paspornya, mereka akan berhadapan dengan masalah internal Israel. Bagaimana tidak? Identitas yang digunakan dalam lima paspor aspal yang berhasil diungkap pihak kepolisian Dubai adalah identitas mereka yang bermukim di Israel sendiri. Mereka adalah beberapa Yahudi Inggris yang telah pindah ke tanah jajahan tersebut. Salah seorang di antara mereka adalah Adam Melvyn Mildiner, laki-laki yang tinggal di dekat Al Quds. Ia terkejut setelah identitasnya muncul di koran sebagai buronan. “Saya tidak tahu bagaimana ini terjadi? Siapa yang memilih nama saya? Kenapa? Tapi mudah-mudahan kita akan segera mengetahuinya. ” Kutip Koran Haaretz (26/2/2010).
Merespon kejadian ini, para jenderal dan komentator Israel berlomba-lomba mengutuk Mossad. Ben Kasbit, komentator koran Maarev menyebutkan bahwa pembunuhan Al Mabhuh sebagai salah satu kegagalan terbesar dalam sejarah Mossad dan aparat intelijen Israel. Di samping karena menyabotase hubungan Israel denga Eropa, warganya sendiri tahu bahwa Mossad menggunakan identitas mereka.
Amir Oren, komentator militer di surat kabar Haaretz, menyalahkan Perdana Menteri Benyamin Netanyahu karena mempertahankan kepemimpinan Meir Dagan atas Mossad. Ia menilai, dampak operasi pembunuhan itu bisa menimbulkan komplikasi politik.
Dan Israel harus “membayar” dengan harga yang tidak murah atas operasi pembunuhan yang dilakukan terhadap pejuang Palestina tersebut, yakni dengan diusirnya diplomat negeri penjajah itu dari Inggris pada akhir Maret lalu. [Thoriq/Dija/Sahid/hidayatullah.com]