SIANG hari, akhir bulan Maret lalu, Ahmad Hadi, datang bertamu bersama dengan kerabatnya. Kedatangan Ahmad siang itu terbilang mendadak.
Ahmad mengutarakan maksud kedatangannya bahwa dirinya butuh bantuan seseorang yang dituakan untuk bisa mendampinginya melakukan peminangan terhadap seorang gadis di sebuah kelurahan di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Mendadaknya sebab agenda lamaran akan dilakukan hari itu juga karena mengikuti jadwal yang sudah disepakati jauh hari sebelumnya oleh kedua calon mempelai.
“Kalau tidak bisa sore ini, nanti malam mudah-mudahan bisa menyempatkan diri. Sebab besok pagi keluarga pihak perempuan akan bertolak lagi ke Sulawesi,” kata Ahmad yang asli Madiun, Jawa Timur, ini penuh harap.
Ahmad yang sehari-hari sibuk bekerja di sebuah unit usaha bank swasta di Balikpapan ini rupanya alpa untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sehingga hari itu ia buru-buru datang ke kediaman Bunda Zakiah, satu-satunya kerabat jauh yang dikenalnya di kota itu, untuk tujuan tersebut.
Akan melamar gadis dari salah satu suku di Sulawesi Tenggara, keruan saja membuat Ahmad pusing tujuh keliling. Pasalnya, sebagai orang Jawa dari Madiun, perantau pula, ia tak paham sama sekali tentang tradisi atau adat isitiadat melamar orang Sulawesi. Sementara adat tersebut sangatlah dipegang teguh oleh pihak wanita.
Sayangnya, Bunda Zakiah, yang dimintai tolong Ahmad tak sepenuhnya juga mengerti adat istiadat masyarakat Sulawesi Tenggara, meski pun sebenarnya ia asli Bugis yang setidaknya memiliki keserupaan tradisi. Namun karena sudah lama hidup di perantauan, tradisi sukunya tak lagi familiar di benaknya.
Beruntung, ada Mujahid Zubair, yang tiba-tiba menyatakan bersiap ikut serta mendampingi. Siang yang terik itu, kebetulan Mujahid yang bertetangga dekat dengan kerabat Ahmad ini mengetahui sedang ada kerabat tetangganya yang sangat membutuhkan bantuan.
Meski pria berkacamata kelahiran Sinjai, Sulawesi Selatan, lima pulu empat tahun silam ini sebenarnya sedang dalam masa perawatan dari komplikasi penyakit yang dideritanya, siang itu beliau mengiyakan saja siap menemani Ahmad.
“Kita temani nanti malam, Insya Allah, semoga dimudahkan semua,” kata Mujahid Zubair, dengan nada yang mantap.
Malam pun tiba dengan binar bintangnya. Lepas Magrib, rombongan pendamping dari Ahmad segera bergeser sigap dari daerah Teritip menuju kediaman terlamar di bilangan Stal Kuda, Sepinggan.
Tiba di tujuan, tuan rumah yang rupanya dari kalangan menengah atas ini menyambut dengan hangat. Di ruang tengah yang cukup mewah itu, tampak tamu dan shahibul bait bercengkrama, lalu kemudian dilanjut dengan santap malam dengan menu berkelas.
Alhamdulillah, meski awalnya suasana agak terkesan kaku, bincang-bincang malam itu berlangsung cukup akrab dan bersahabat. Mujahid Zubair yang memiliki struktur berbahasa Bugis yang mumpuni ikut berperan mencairkan suasana. Kebetulan memang mayoritas dari keluarga terlamar yang hadir malam itu adalah orang-orang Bugis juga. Klop sudah.
Tradisi eufemisme komunikasi Mujahid Zubair yang berkelindan lidah turut membuat hati Ahmad berbunga-bunga malam itu. Lamaran Ahmad diterima. “Alhamdulillah,” pekik hadirin perwakilan kedua calon mempelai yang memadati ruang tamu.
Sebenarnya beberapa waktu sebelumnya, Ahmad sudah melakukan lamaran. Ia datang berdua ditemani abangnya. Namun, karena tidak mengikuti prosedur dan mekanisme “adat istiadat” sebagaimana mestinya, ia pun harus balik kanan.
Ia disuruh pulang dan dipersilahkan datang kembali dengan membawa juru bicara dari kalangan keluarga yang dituakan. Serta ia diharuskan memperhatikan kembali beberapa hal terkait “prosedur adat” yang menjadi catatan dari pihak wali perempuan saat prosesi lamaran berlangsung.
Amanah Dakwah
Selama masih bisa berbuat, berbuatlah yang terbaik. Itulah yang menjadi motto hidup Mujahid Zubair. Maka tak heran ketika ada seseorang yang sedang membutuhkan bantuan, ia tak segan turun tangan semampu yang ia bisa. Seperti malam itu, ia turut menjadi “jubir” dalam sebuah seremoni peminangan menyertai sejumlah kerabat lainnya yang ikut hadir mendampingi pihak laki-laki.
Mujahid Zubair adalah dai yang terbilang telah cukup lama malang melintang di dunia dakwah melalui lembaga Pesantren Hidayatullah. Ayah dari 6 anak ini lahir di Sinjai, Sulawesi Selatan, 12 Desember 1958. Istrinya tercinta, Siti Maghfirah, senantiasa setia mendampingi dalam setiap debut dakwahnya.
Di masa muda, Mujahid adalah sosok pekerja keras. Hal itu terlihat dari tradisi beliau yang sampai hari ini memang “tidak bisa diam” . Apa saja yang bisa dikerja, ia mau kerja.
Termasuk beberapa waktu lalu, tidak lama setelah melakukan cuci darah atau hemodialisis di sebuah rumah sakit swasta di Balikpapan, ia nampak “nekat” merekonstruksi kandang ayam di belakang rumahnya lengkap dengan pakaian tukang yang dikenakannya.
Sebagai anak muda, ia kerap menerima tugas dakwah ke berbagai wilayah di nusantara yang ditugaskan langsung oleh pendiri Hidayatullah, Allahuyarham Ustadz Abdullah Said. Ia ikut serta membantu gerakan dakwah Hidayatullah di Tarakan, Berau, Gorontalo, Cilodong, Nunukan, dan lain-lain.
Tak ayal, amanah dakwah tugas dari Pondok Pesantren Hidayatullah yang diembanya mengharuskan dia berpindah-pindah tempat. Bahkan pernah hanya 2 bulan saja di suatu kota, ia harus pindah lagi ke wilayah lainnya. Tentu saja dengan memboyong istri dan anak-anak yang masih kecil-kecil.
“Ketika tugas di Tarakan, baru dua bulan, disuruh lagi pindah untuk membantu merintis dakwah Pesantren Hidayatullah di Gorontalo,” katanya belum lama ini dalam perbincangan dengan media ini.
Ia juga mengemban amanah dakwah membantu dakwah Pesantren Hidayatullah Cilodong, Depok, Jawa Barat, bersama kolega mudanya ketika itu yang telah lebih dulu merintis diantaranya Ustadz Sarbini Natsir, Ustadz Yusuf Flores, Ustadz Adi Dharma Yudi, dan Ustadz Masykur.
“Spirit dakwah yang ditularkan oleh Ustadz Abdullah Said bahwa siapa yang menolong agama Allah, pasti ia akan ditolong, inilah yang selalu meledakkan semangat kita untuk siap bertugas di mana saja,” kata Mujahid Zubair.
Saat Hidayatullah Berau masih dirintis, petugas di sana sangat kurang. Bulan Oktober 1985, dikirimlah Mujahid Zubair dan koleganya, Usman Asy’ari. Mereka ditugaskan ke Berau untuk mengisi kekosongan petugas. Itu sebabnya waktunya hanya sebentar. Bulan Januari 1986, Mujahid Zubair kembali bertugas ke Balikpapan
Sejenak Rehat
Karena kerap berpindah-pindah seperti kaum nomaden sebagai konsekwensi setiap tugas dakwah yang diamanahkan kepadanya, Mujahid kian sibuk menjalankan amanah yang diembankan kepadanya.
Sebab itu pula ia menjadi jarang sekali mengecek kesehatan (medical checkup) ke dokter. Sampai kemudian ia mulai terkena gejala asam urat (hyperuricemia) yang diawali oleh gangguan fungsi ginjal (kidney disease). Hal itu pun ia ketahui setelah didiagnosa oleh dokter. Dari sinilah ia kemudian mulai digerogoti penyakit lainnnya.
Gangguan metabolisme kadar asam urat dalam plasma darah ini kerap membuat Mujahid lemah dan harus selektif dalam mengkonsumsi makanan. Hal ini disebabkan lintasan katabolisme nukleotida purina dalam tubuh Mujahid terus berlangsung sebab tiadanya enzim urikase yang mengkonversi asam urat menjadi alantoin. Seperti diketahui, kadar asam urat yang berlebih atau berkurang dapat menimbulkan batu ginjal atau pirai di persendian.
Berprofesi full sebagai dai layaknya militer yang acapkali harus siap berpindah-pindah tugas, membuat Mujahid seolah lupa akan sakitnya. Semangat kekaderannya terus saja membahana. Meski sebenarnya sedang sakit, tapi dia sendiri seperti tidak pernah merasa sakit. Selain itu, keterbatasan biaya membuat dirinya enggan berurusan dengan tindakan medis.
“Beliau termasuk orang yang sebenarnya tidak suka berurusan dengan rumah sakit. Sejak dulu tidak pernah masuk rumah sakit, baru saat ini saja,” kata Maghfirah, sang istri, yang ditemui media ini di kediamannya belum lama ini.
Seperti diketahui, apabila seorang mengidap gangguan fungsi ginjal maka kemampuan ginjal dalam membuang kelebihan asam urat akan berkurang. Ini akan menyebabkan penumpukan asam urat dalam berbagai jaringan tubuh, misalnya pada persendian. Yang terjadi kemudian si penderita akan merasakan nyeri dan bengkak pada bagian tertentu.
Oleh paramadis yang menanganinya, Mujahid diharuskan istirahat yang cukup. Apalagi, setelah kedua penyakit tersebut terus menggerogotinya, ia kini juga harus rutin melakukan hemodialisis atau cuci darah karena difungsi ginjal yang dideritanya. Hemodialisis sendiri adalah proses pembersihan darah dari zat-zat sampah, melalui proses penyaringan di luar tubuh.
Hemodialisis dilakulan dengan menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis. Dari proses dialiser yang telah selesai akan didapatkan darah yang bersih. Darah yang telah tersaring menjadi bersih inilah yang kemudian dikembalikan ke dalam tubuh penderita.
“Alhamdulilah, berjuang itu tidak ada kata berhenti. Allah Subhanahu wata’ala sudah memberikan kesempatan kepada saya sehat bertahun-tahun, bisa ke mana-mana. Sekarang waktunya Allah kasih sakit, jauh kan masih perbedaan waktunya. Dijalani saja, sambil terus berdoa dan berusaha, tidak boleh putus asa,” seloroh Mujahid seraya tersenyum saat ditanya apa spirit yang selalu membuatnya penuh semangat.
Mujahid Zubair kini tak lagi bisa rutin sholat berjamaah ke masjid. Sebab jalan pun ia kadang-kadang harus dipapah, atau menggunakan penyangga tongkat miliknya. Kalau pun dapat, hanya saban Jum’at saja ia bisa bersua dengan jamaah lainnya di masjid. Kendati demikian, sakit yang dideritanya itu punya hikmah tersendiri baginya.
“Kalau pas sehat dulu, ngaji Qur’an paling hanya bisa tamat sekali sebulan. Sekarang sakit, Alhamdulillahh bisa tamat sekali sepekan sambil merenungi dan menghayati maknanya,” ujarnya berbinar.
Ketika berbicara nafasnya nampak tersengal-sengal. Penglihatannya pun diakuinya telah nampak kabur dan kadang-kadang gelap. Namun demikian, Mujahid telah mengajari kita bagaimana memaknai hidup ini: Jangan pernah berhenti berjuang!
Rubrik ini atas kerjasama dengan Persaudaraan Dai Nusantara (Pos Dai). Dukung dakwah para dai nusantara melalui rekening donasi Bank BSM: 733-30-3330-7 atau BNI 0254-5369-72 a/n Pos Dai atay Yayasan Dakwah hidayatullah Pusat Jakarta. Ikuti juga program dan kiprah dakwah dai lainnya serta laporan di portal www.posdai.com