ABDULLAH Azam sudah dua kali mencoba menemui H Latif. Usaha pertama gagal. Usaha kedua, nampaknya ia mesti bersabar lagi.
Latif sendiri sebenarnya tahu Azam hendak menemuinya. Tapi sengaja ia tak mau menjumpainya. Ia mendengar selentingan Azam membawa ajaran sesat. Ia ingin memastikan dulu kebenaran selentingan itu.
Bersama kerabatnya, H Ahmad, Latif kemudian meluncur ke Batakte, Kupang Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), tempat di mana Azam tinggal. Sampai di tempat ia tak menjumpai siapa-siapa, kecuali sebuah gubuk reot dari jerami.
Betapa kagetnya Latif, setelah masuk ke gubuk itu di dalamnya tergeletak enam orang anak yang sedang sakit. Tiba-tiba Latif merasa bersalah telah berprasangka buruk kepada Azam. Segera saja ia balik arah, pulang!
Namun tak berapa lama ia balik lagi, sambil membawa tukang dan material bangunan. Ia bangun gubuk itu menjadi bangunan sederhana. Semua itu ia lakukan untuk menebus rasa bersalahnya.
Sejak saat itulah Latif dan Ahmad, dua pengusaha di Kupang, menjadi penyokong utama dakwah Hidayatullah di kota yang menjadi ibukota Provinsi NTT itu. Sedangkan Azam adalah dai Hidayatullah yang pernah ditugaskan di sana.
Dari gubuk reot itu, lebih dari 20 tahun kemudian Hidayatullah di Kupang berkembang menjadi berderet-deret bangunan. Berdiri di atas lahan hampir satu hektar, bangunan itu berupa masjid, ruang-ruang kelas, asrama, kantor, dan rumah para pengasuh. Di sini sedang digembleng santri putri.
Tak jauh dari pesantren putri, sekitar satu kilometer, berdiri pesantren putra. Di sini lahannya lebih luas, sekitar delapan hektar. Dengan kontur tanah bukit dan lembah, jika ditata dengan apik, bisa menjadi pesantren yang asri.
Seluruhnya, Pesantren Hidayatullah Kupang menggembleng sekitar 150 santri. Mereka semua bebas biaya, baik makan maupun pendidikan. Maklum, hampir semua santri berasal dari keluarga miskin.
Selain dari Kupang sendiri, mereka berasal dari pulau-pulau sekitar seperti Alor, Flores, Rote, dan sebagainya. Misalnya, Ahmad, santri berkulit hitam dan berambut “kriwul” ini berasal dari Pulau Alor, sekitar satu jam dari Kupang dengan naik kapal laut.
Kalau kemudian kini ia bisa duduk di bangku kelas tiga aliyah, sungguh ia bersyukur sekali. “Menjadi dai yang saleh,” begitulah cita-citanya saat ditanya hidayatullah.com, awal bulan November lalu.
Untuk mewujudukan mimpinya itu, setelah lulus ia hendak melanjutkan kuliah. Pilihannya ada empat: Surabaya, Jakarta, Balikpapan, atau Batam. Di empat kota tersebut berdiri perguruan tinggi milik Hidayatullah yang memberi beasiswa penuh kepada seluruh mahasiswanya.
Mungkin, Ahmad terinspirasi salah satu gurunya, Muh Nasir Lingge. Nasir adalah santri Hidayatullah Kupang yang kemudian melanjutkan belajar ke Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan. Setelah lulus, kini Nasir mengabdikan ilmunya lewat pesantren yang dulu membesarkannya.
Tentu saja Nasir tidak sendirian. Ada ustadz-ustadz muda lainya yang mencurahkan seluruh waktunya untuk mengajar para santri. Mereka antara lain Usman Mamang (STIS), Saharuddin, Nurdin Patah, dan Ilham Lebus (ketiganya lulusan STAIL).
Keberadaan anak-anak muda itu sungguh berarti bagi perjuangan Islam di Kupang. Di sini umat Islam menjadi minoritas (hanya 2,3%), sedang mayoritas agama Katholik dan Protestan.*
Rubrik ini atas kerjasama dengan Persaudaraan Dai Nusantara (Pos Dai). Bantu dakwah mereka melalui Rekening Bank: Bank BSM: 733-30-3330-7 atau BNI 9254-5369-72 a/n Informasi berbagai program dakwah dapat di klik di www.posdai.com