Syahdan, dikisahkan bahwa suatu ketika Syeikh Prof. Dr. Abdurrazzāq Al-Sa’diy al-Hasaniy, salah seorang profesor prolifik berkebangsaan Iraq yang menguasai berbagai permasalahan dalam madzhab aqidah dan mumpuni dalam empat madzhab fiqh (berasal dari keluarga Mufti di Iraq),tegak berdiri karena tak kuasa menahan amarahnya.
Betapa tidak, sekelompok mahasiswa asal timur-tengah di salah satu perguruan tinggi Islam terkemuka di rantau Asean tiba-tiba mengumandangkan gemuruh takbir dengan lantang sejurus setelah Imam melafazkan salam pada sholat Fajar pagi itu.
Syeikh keturunan Rasulullah dari jalur Sayyidina Hasan yang telah berpindah dari mazhab Hanafi kepada Syafi’i ini pun dengan tegas mengingatkan: “Wahai para pemuda, tidakkah kalian menyadari bahwa kalian sedang bermukim di satu Negara yang pemerintah dan muftinya telah menetapkanbahwa sholat Ied jatuh esok hari.
Bahkan sekalipun kalian tetap meyakini hari ini adalah hari raya, apakah kalian lupa bahwa takbir di hari raya itu hukumnya sunnah menurut jumhur ulama, sementara menjaga persatuan dan ukhuwwah Islamiyyah dengan saudara seaqidah itu hukumnya wajib”.
Pembaca yang dirahmati Allah, potongan kisah di atas mengambarkan bahwa perbedaan itu adalah suatu keniscayaanhidup dan sunnatullah, namun demikian menyikapi perbedaan tersebut dalam kerangka hikmahkebijaksanaan adalah satu tuntutan Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat-Nya, orang-orang yang bersaudara.” (QS: Ali Imran: 103).
Dalam kesempatan yang lain Allah juga menegaskan agar kita tidak berbantah-bantah, karena itu akan menjadikan ummat ini menuai kegagalan dankehilangan kekuatan, Allah berfirman:
وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantah, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kehilangan kekuatanmu, dan bersabarlah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS: Al-Anfal: 46).
Bercermin dari insiden di atas, maka perbedaan fiqh yang terjadi di tengah-tengah ummat ini menuntut satukebijaksanaan sikap. Bahkan saking pentingnyasikap ini,sebagian ulamatelah menginfakkan sebagian waktunyauntuk menulis satu bab dalam agama ini yang disebut “adab/fiqh al-Ikhtilaf”. Karena hakikatnya perbedaan dalam madzhab dan pandangan fiqh itu lumrah, dan bukanlah masalah, tapi kerapkalikedangkalan kita dalam bab fiqh ikhtilaf ini justru menjadi sumber masalah dan perpecahan.
Dalam hal ini imam Hassan al-Banna pernah mengatakan: نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اتَّفَقْنَا وَنَتَعَاذَرُ فِيْمَا اخْتَلَفْنَا“mari kita saling tolong-menolong terhadap sesuatu yang kita sepakati, dan mari kita saling memberi uzur (berlapang dada) dalam perkara yang kita berbeda”.
Di samping itu perlu dipahami bahwa wilayah khilafiyyah ijtihadiyyah fiqhiyyah adalah dalam ranah khotho’ (salah) dan showab (benar), yang konsekuensinya adalah pahala, satu ataudua. Sementara persatuan dan perpecahan adalah tataran haq dan bathil yang implikasinya adalah pahala atau dosa.
Adapun di antarabanyak perkara yang kita sepakati dalam agama ini adalah, bahwa antara penegakan nilaiagama dan penerapan sektor ekonomi berbasis syariah compliance adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Karena kegiatan ekonomi merupakan salah satusendi dan instrumen dasar kehidupan manusia.
Maka perjuangan terhadap ekonomi syariah yang akhir-akhir ini dipopulerkan dengan istilah “jihad ekonomi” adalah satu keniscayaansetiap individu muslim.
Bahkan Rosulullah di dalam doanya menyandingkan antara kekufuran dan kefaqiran sebagai sesuatu yang harus diberantas. Dan kalau kemudian kita tinjau redaksi al-Qur’an makakebanyakan ayat bertemakan jihad selalu dimulai dengan perintah jihad harta (ekonomi).
Lihat sebagai contoh: (QS. At-Taubah: 20 dan 41, al-Hujurat: 15, al-Shaff: 11). Dan jihad ekonomi jelas tidak bisa dilakukan secara perorangan, melainkan harus bersama-sama di atas pondasi aqidah dan semangat ukhuwwah Islamiyyah, karena sejatinya tipologi ekonomi islam adalah ekonomi keummatan.
Oleh karena itu dalam wacana dan implimentasijihad ekonomi ini, kita harus berjamaah dan bersatu. Kita boleh saja berbeda mazhab dan pemahaman fiqh sepanjang masih dalam bingkai ahlu sunnah waal jama’ah.
Tapi itu sedikitpun tidak boleh menafikan persatuan dan amal kolektif dalam jihad ekonomi ini. Sangat disesalkan jika kita sibuk berbantah-bantah masalah khilafiyyah fiqhiyyah, sementara nun jauh di sana ada saudara-saudara kita yang tergadai kalimat tauhidnya karena tuntutan ekonomi yang menghimpit.
Bukankah Allah telah memerintahkan, berpegangteguhlah kamu dalam tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Dan dalam elemen tali agama Allah (baca: Islam), maka ada aspek ekonomi Islam/syariah. Dan Rosulullah turut menegaskan dalam sabdanya, tetaplah kamu berjamaah, karena singa hanya akan menerkam domba yang sendirian.
Untuk itu, maka di sini menjadi sangat penting untuk kita tetap berjamaah, tidak hanya ketika sholat, tapi pada perkara lain yang menuntut hadirnya kebersamaan.Mudah-mudahan dengan merajut ukhuwwah Islamiyyah ini kita bisa memberdayakan ekonomi ummat yang bermarwah di bawah payung syari’ah. Aamiin. Wallahu A’lam.*/Muhammad Rahman, alumni International Islamic University Malaysia