Hidayatullah.com– Rilis daftar 200 muballigh oleh Kementerian Agama, tak bisa dihindari mengakibatkan munculnya kesan publik, bahwa rilis tersebut adalah ekspresi ‘low politics’ (politik tingkat rendah) Kemenag yang ingin mengekslusi ulama atau muballigh atau dai yang kritis dan tidak kompromistik terhadap pemerintah.
Hal ini menurut oleh Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal.
Baca: Aa Gym Sarankan Kemenag Evaluasi Kebijakan ‘Muballigh Direkomendasikan’
Dengan kebijakan yang dapat dipahami sebagai politik tingkat rendah, sambungnya, Kemenag kehilangan nalar kearifan lokal.
“Bahwa pengakuan atas kapasitas seseorang sebagai ulama atau muballigh atau dai tak semata bersifat formal struktural, namun lebih pada relasi dan pengakuan kultural autentik masyarakat yang jauh dari transaksi kepentingan tertentu,” ujarnya kepada hidayatullah.com Jakarta, Senin (21/05/2018).
Baca: PP Muhammadiyah: Rilis ‘200 Muballigh’ Sulit Dipisahkan dari Politik Keagamaan Penguasa
Hal ini, kata dia, telah berjalan sepanjang sejarah di Indonesia. Terlebih di era digital tak berbatas saat ini. Kecenderungan masyarakat milenial ialah melepaskan diri dari banyak belenggu formal dan primordial. Mereka lebih bebas untuk memilih dan menentukan preferensi sendiri.
“Kementerian Agama tidak memahami persoalan ini dengan baik, sehingga yang muncul di permukaan ialah semangat hegemoni dan kekuasaan,” katanya.
Baca: Ketum PBNU Kritik Kemenag Rekomendasikan 200 Muballigh
Kalau logika formal diberlakukan, kata dia menambahkan, maka seharusnya semua sarjana agama Islam itu menjadi ulama atau kiai atau muballigh. Namun, faktanya tidak demikian.
“Ulama atau kiai atau muballigh tak semata kapasitas intelektual-akademik, namun utamanya ada keteladanan nyata, menyatu dengan denyut nadi amanah penderitaan umat, serta khasyiah (takut) kepada Allah. Tentu dua kompetensi terakhir tak kan sanggup diwakili oleh selembar ijazah formal, apalagi hanya dengan selembar surat keputusan,” terangnya.
Baca: Ketum PP Muhammadiyah Kritik ‘200 Muballigh Rekomendasi Kemenag’
Karena itu, menurutnya, biarlah masyarakat dewasa dalam keberagamaannya, tanpa adanya intervensi berlebih dari pemerintah. Kalaupun ada perkara yang dicatat sebagai kekurangan pada ulama/muballigh tertentu, dia menyarankan sebaiknya diselesaikan dengan jalur dialogis yang interaktif dan bukan monolog yang cenderung represif.
“Sebabnya penting diadakan semacam urun rembug muballigh nasional tentang persoalan kebangsaan kita,” usulnya.* Andi