Meskipun wakaf dan zakat sama-sama memiliki tujuan sosial, mandat wakaf lebih diarahkan pada hal yang sifatnya tahsiniyat dalam membangun peradaban.
Oleh: Dr. Ir. Imam Teguh Saptono, MM
Hidayatullah.com | BELAKANGAN ini banyak ahli ekonomi maupun pelaku bisnis merasa frustasi atas konsep ekonomi yang berjalan sekarang. Sudah lebih dari 1 dasawarsa, sejak meledaknya krisis subprime mortgage Amerika Serikat (2007), mekanisme sistem moneter yang mengandalkan instrumen suku bunga dan nilai tukar tidak mampu mengatasi kelesuan ekonomi global.
Demikian pula pada sektor riil. Pelaku bisnis terjebak dalam paradigma materialisme kronis yang justru mengoperasikan bisnisnya dengan pendekatan neo-qorun bisnis model. Angka kemiskinan bertambah dan masalah kesenjangan ekonomi terjadi secara terstruktur, sistematik, dan masif.
Ironisnya, korban dari kesenjangan ekonomi dan kemiskinan global ini sebagian besar dialami oleh negara berkembang yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Pilar Ekonomi
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin sekaligus syumul (total, lengkap, menyeluruh, sepanjang masa), pastinya memiliki sistem pengaturan di bidang ekonomi guna mencapai kesejahteraan umat. Salah satunya dijalankan melalui instrumen ZISWAF (zakat, infaq, shadaqah, wakaf). Masing-masing instrumen memiliki mandat yang berbeda.
Berbeda dengan zakat yang harus segera habis dikonsumsi, dalam wakaf dikenal konsep pokok (corpus) dan manfaat (benefit). Pokoknya sustain (penopang) dan manfaatnyalah yang dikonsumsi oleh beneficieries (mauquf alaih). Meskipun keduanya sama-sama memiliki tujuan sosial, mandat wakaf lebih diarahkan pada hal yang sifatnya tahsiniyat dalam membangun peradaban.
Lantas pertanyaan pokoknya adalah bagaimana cara mengembalikan wakaf sebagai pilar ekonomi umat? Mampukah Indonesia melakukannya? Tidak ada acara lain yakni dengan membumikannya ke aktivitas ekonomi sehari-hari dalam konteks ekonomi kekinian.
Strategi
Harus diakui bahwa sistem hukum (perusahaan, perbankan, pasar modal, perpajakan, dan sebagainya) yang berlaku saat ini belum dapat mengakomodasi mekanisme wakaf sepenuhnya. Demikian pula halnya dengan paradigma pengusaha yang dalam berbisnis masih didominasi oleh spirit materialisme.
Di sisi lain, literasi wakaf masyarakat juga masih rendah. Dalam hal pemahaman fiqh misalnya, masih dijumpai adanya pemahaman yang sempit dan kaku.Beberapa isu seperti proses penggantian aset wakaf, perpindahan nadzir, definisi kehilangan dan kerugian, dan semacamnya, menyebabkan lambatnya pertumbuhan aset wakaf dan pemanfaatannya. Akibatnya, banyak pemanfaatan aset
wakaf yang menjadi sangat terbatas dan hanya berkutat pada aset sosial (non-komersial) seperti makam, masjid, madrasah. Alhasil, trickle down effect dari aktivitas ekonomi yang dihasilkan pun terbatas.
Seharusnya, keterbatasan dalil tentang wakaf –yang menyebabkan wakaf menjadi area ijtihad– ini justru harus dipandang sebagai rahmat-Nya. Ini sekaligus bisa menjadi kekuatan bagi pelaksanaan wakaf di lapangan.
Wakaf seharusnya dapat dengan mudah mengakomodasi dan menyesuaikan dengan kondisi perkembangan ekonomi umat, mulai dari isu teknologi, ekonomi disruptif, internet of things, hingga persoalan VUCA (volatile [bergejolak] uncertain [tidak pasti] complex [kompleks] ambigue [tidak jelas]). Situasi ini seharusnya menjadi ajang pembuktian bahwa wakaf dapat hadir untuk menjawab tantangan tersebut, bukan justru menjadikannya terpinggirkan.
Pemanfaatan teknologi seperti peer to peer platform dalam memobilisasi crowd funding wakaf, teknologi blockchain untuk menjawb aspek governance, e-wakaf dengan memanfaatkan ragam payment services, hingga sinergi dan inovasi produk dengan system poin telco, kartu pembiayaan dan retailer lainnya, sudah sewajarnya menjadi kekuatan wakaf di lapangan. Hal ini karena sejatinya area wakaf memang sangat fleksibel.
Para stakeholder (pemangku kebijakan) wakaf seharusnya mengedepankan tujuan kemaslahatan dan mengesampingkan perbedaan antar mazhab. Hal ini guna menciptakan eco-system wakaf yang sehat.Pengambil kebijakan harus menjalankan dua pendekatan, yakni push strategy dan pull strategy.
Push strategy, yakni sebisa mungkin mendorong seluruh stakeholder wakaf (nadzir, lembaga keuangan syariah khususnya bank syariah, departemen teknis, dan ulama [Dewan Syariah Nasional]) agar konsen terhadap inovasi produk wakaf yang sesuai dengan perkembangan industri keuangan syariah. Misalnya peluncuran cash wakaf linked sukuk, sukuk wakaf, wakaf premi asuransi, wakaf saham, bank wakaf, dan sebagainya.
Pull strategy, yakni dengan cara menarik lembaga-lembaga keuangan syariah untuk peduli kepada wakaf. Key performance indicators (KPI) maqashid syariah mulai diterapkan ke semua lembaga keuangan syariah.
Literasi wakaf harus dibangun sejak dini, khususnya dalam kelompok masyarakat terdidik, seperti sekolah, pesantren, dan kampus.Arus digitalisasi wakaf menyangkut aspek mobilisasi, inventarisasi aset, dan distribusi manfaat juga perlu dibangun guna melahirkan kepercayaan publik.
Terakhir adalah profesionalisme nadzir yang memiliki potensi dan kapasitas yang memadai dengan standar yang terkelola baik.
Harus diakui bahwa dalam sejarah peradaban Islam, kemajuan ekonomi umat salah satunya dibangun melalui praktik wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi. Hal ini ditandai oleh perkembangan aset wakaf –khususnya wakaf produktif– dalam jumlah yang signifikan. Driver perkembangan wakaf saat itu umumnya adalah aset-aset produktif seperti kebun dan usaha perdagangan.
Umat membutuhkan pemikiran dan konsep baru wakaf agar mampu melahirkan inovasi produk yang sesuai dengan zamannya, namun tetap menjaga ruh maqasid syariah-nya.
Kita yakin akan kehebatan wakaf sebagai celestial instrument (instrument langit) yang luar biasa dalam menjawab permasalahan ekonomi. Bila ternyata saat ini belum berdampak signifikan, yakinlah bahwa kesalahan itu ada pada kita yang belum mampu menerapkannya secara tepat.*
Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia dan Komisaris Utama Global Wakaf Corporation. Tanya wakaf: 0813-1415-2019. www.baitulwakaf.id