Hidayatullah.com–Beberapa warga Afghanistan dan Pakistan yang ditahan militer Amerika di Guantanamo Bay, Kuba sejak akhir 2001 lalu, mengungkapkan penderitaan yang mereka rasakan di sana sampai-sampai mereka mencoba bunuh diri.
32 Warga Afghanistan dan tiga warga Pakistan yang dibebaskan baru-baru ini mengisahkan “Pertama kali kami dibawa ke kamp tahanan di Guantanamo Bay, mereka (tentara Amerika) tidak mengijinkan kami bicara, berdiri ataupun berjalan di sel penjara. Tidak ada azan dan kami tidak bisa melihat bayangan (untuk menentukan waktu shalat dan arah kiblat).”
“Perasaan putus asa yang kami derita makin memuncak setelah kami berulangkali diinterogasi, namun tidak mengetahui bagaimana nasib kami. Ada yang bilang kami bakal ditahan di sana selama 150 tahun. Ditambah lagi kami ditempatkan dalam sel yang sangat kecil,” ujar Shah Muhammad, 20, warga Pakistan yang ditangkap di utara Afghanistan November 2001.
Semasa 18 bulan sejak para tahanan dikirim ke sana, 28 kali usaha bunuh diri dilakukan 18 orang dan kebanyakan percobaan gantung diri itu dilakukan tahun ini, kata Kapten Warren Neary, seorang jubir kamp tahanan tersebut. Meski tidak seorangpun meninggal akibat usaha bunuh diri, namun salah seorang di antaranya sekarang ini menderita kerusakan otak yang parah, demikian menurut pengacaranya.
Muhammad yang menjalani masa-masa suram selama 18 bulan sejak diterbangkan ke pangkalan tersebut Januari 2002, mengaku empat kali mencoba mengakhiri hidupnya. “Saya mencoba empat kali bunuh diri karena saya merasa sangat terhina.”
“Menderita sekali rasanya, di mana kita ditahan di sel yang kecil dan kemudian tidak bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang satu sel dengan kita karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Saya ditahan bersama orang-orang Arab yang berulangkali membenturkan kepala mereka ke dinding karena putus asa. Hal inilah yang membuat saya depresi,”ujar Muhammad.
Setelah 11 bulan dikungkung di kamp tahanan itu, Muhammad mengikatkan selimutnya ke langit-langit sel dan menggantung dirinya. “Saya tidak tahu apa yang terjadi kemudian,” katanya. “Saya tidak sadar diri selama dua hari dan setelah sadar saya sudah ada di rumah sakit.”
“Saya tahu bunuh diri melanggar ajaran Agama Islam, tapi saya melakukannya karena penderitaan yang saya rasakan di sini membuat saya putus asa. Mereka memperlakukan saya sebagai penjahat, padahal saya tidak melakukan kejahatan apapun,” cetusnya.
Baru setelah melakukan usaha bunuh diri itu, sipir warga Amerika memberitahunya bahwa dia ditahan hanya untuk diperiksa dan suatu hari akan dipulangkan. Dia diberi obat penenang, namun dia menghentikan penggunaannya dan mencoba bunuh diri lagi.
Kemudian para dokter memberinya suntikan yang membuatnya tidak bisa menggerakkan kepala atau mulutnya dan dia tidak bisa makan selama berminggu-minggu. Walau ia menolak diberi suntikan, namun petugas medis militer menyuntiknya dengan paksa. Lalu dia melakukan dua kali lagi usaha bunuh diri sebagai tindakan protes terhadap penahanan dirinya.
Pejabat Amerika membenarkan bahwa seorang tahanan yang mencoba bunuh diri terpaksa tetap dirawat di rumahsakit kamp itu karena menderita kerusakan otak. Tahanan itu bernama Mish al-Hahrbi, seorang guru sekolah kebangsaan Arab Saudi.
Hinaan dan siksaan
Para tahanan itu mengatakan beberapa bulan pertama, mereka ditahan di dalam sel kecil ukuran 195 cm kali 240 cm. Sel-sel tersebut hanya ditutupi atap kayu.
“Kami tidur, makan, shalat dan buang air kecil atau buang air besar di ruang kecil itu,” kata Suleiman Shah, 30, mantan pejuang Taliban dari Provinsi Kandahar di bagian selatan Afghanistan.
Para tahanan diperbolehkan keluar hanya sekali seminggu untuk mandi selama satu menit. “Setelah empat setengah bulan, kami protes dengan cara mogok makan, mereka baru mengijinkan kami mandi selama lima menit dan olahraga sekali seminggu. Setelah itu, mereka memperlunak sikap dengan mengijinkan kami jalan-jalan di halaman penjara yang panjangnya 9 meter,” kenang Suleiman.
Setelah itu pula, para tahanan dipindahkan ke sel baru yang ada tempat tidurnya dan kumandang azan digemakan lewat pengeras suara lima kali sehari, kata Kapten Youseff Yee, tokoh agama yang mengutarakan kebutuhan tahanan akan siraman rohani keagamaan.
Bukan lalu, laporan kantor berita Kavkaz, seperti dimuat Hidayatullah.com, (Selasa, 03 Juni 2003 ), menulisa, para tahanan di kamp X-Ray itu dilaporkan telah diperlakukan secara kejam olah para tentara AS. Menurut Kavkaz, perlakukan para tentara AS itu menyamai kekejaman pasukan Nazi, Jerman. Termasuk secara sengaja meletakkan tahanan di bawah cahaya lampu terang dan musik heavy metal dengan suara bising dan amat keras.
Hingga hari ini, setidaknya ada sekitar 680 orang yang ditahan di Guantanamo. Dan mereka semua ditangkap dan ditahan tanpa menjalani prosedur pengadilan yang membuktikan bahwa mereka memang bersalah.
Para tahanan itu berasal dari lebih 40 negara dan termasuk di dalamnya 50 orang Pakistan, 150 orang Arab Saudi, 83 Yaman dan tiga orang remaja berusia di bawah 16 tahun dan tahanan lain dari Kanada, Inggeris, Aljazair, Australia dan Swedia.
Dr. Najeef bin Mohamad Ahmed al-Nauimi, mantan Menteri Kehakiman Qatar yang mewakili 100 tahanan mengatakan mereka kebanyakan ditangkap di Afghanistan. Dr Nauimi mewakili kebanyakan tahanan Arab Saudi dan pengacara warga Amerika mewakili 14 tahanan dari Kuwait.
Organisasi Hak Asasi mempertanyakan tentang kondisi di Guantanamo dan status hukum tahanan yang tidak jelas. Militer Amerika menolak menyebut para tahanan itu sebagai tahanan perang, meski kebanyakan mereka ditangkap di medan perang, dan tidak mengijinkan mereka mendapat pembelaan pengacara. Tidak seorangpun tahanan didakwa melakukan kejahatan apapun, meski mereka telah ditahan selama 18 bulan. (nyt/wpd/cha)