Hidayatullah.com–“Kami sampaikan kekecewaan bahwa hanya sedikit pengakuan dari Amnesti….mengenai langkah-langkah maju yang besar dalam HAM rakyat Iraq sejak pembebasan negara ini,” kata seorang jurubicara pasukan AS dalam jumpa pers.
Organisi HAM berkedudukan di London itu, Rabu, mengeluarkan peringatan serangan-serangan militer AS telah meminta nyawa orang setiap hari dan menyebabkan hilangnya orang tanpa jejak dalam sistem penjara yang dibuat AS di Iraq.
Juru bicara itu menambahkan, pasukan AS masih akan terus berhubungan dengan Amnesti, namun bagi pihaknya dirasakan laporan-laporan Amnesti tidak berimbang dalam caranya menyampaikan situasi HAM di Iraq sekarang.
“Penghargaan yang diberikan kurang dan ini mengejutkan mengingat langkah-langkah besar yang sesungguhnya telah kami lakukan,” kata jurubicara itu.
Sementara itu, pasukan AS di Iraq hari Kamis petang menayangkan gambar-gambar dua putra mantan Presiden Saddam Hussain, Uday dan Qusay, yang tewas dalam penggerebekan oleh pasukan AS di Mosul, utara negara itu, Rabu.
Wajah-wajah kedua pria itu terlihat ditutupi cambang dan kumis tebal dengan luka-luka memenuhi wajah mereka.
Kantor berita AFP dari Baghdad hari Rabu juga melaporkan situasi menyangkut cara-cara penanganan tawanan Iraq oleh penguasa baru di negara itu. Banyak orang hilang begitu saja setelah dijebloskan ke penjara, sesuatu yang mendorong Amnesti mengeluarkan pernyataannya.
“Di mana anak saya, di mana saudara saya, di mana suami saya?” Begitulah suara hiruk-pikuk di dataran rendah berpasir di luar gedung penjara terpencil Abu Gharib di sebelah barat Baghdad.
“Bush, bebaskan mereka, bebaskan mereka,” demikian teriakan Ali Abdul Hassan (28) –yang tak jelas ditujukan kepada siapa. Dengan sia-sia, ia berharap Presiden AS George W. Bush –yang berada jauh dari negerinya– akan serta-merta mewujudkan keinginannya.
Dua puluh keluarga berbaris di luar tembok suram Abu Gharib pukul 08:00 waktu setempat (11:00 WIB). Itu adalah “upacara” sia-sia yang setiap hari dilakukan oleh mereka yang memburu sanak famili mereka yang diciduk dari jalan-jalan kota Baghdad oleh tentara AS.
Seperti di kota besar lain, banyak warga Irak selalu menyatakan orang yang mereka cintai tak bersalah.
Tetapi perbedaan mencolok di Abu Gharib ialah kebanyakan orang itu tidak mengetahui di mana sanak keluarga mereka ditahan dan tak memiliki pilihan selain menerima nasib karena kehilangan orang yang mereka sayangi.
Menurut militer AS, jika yang dilakukan adalah kejahatan ringan, seorang tahanan mesti dibebaskan dalam waktu 30 hari, tapi penundaan terjadi berlarut-larut.
Mereka yang datang mengintip ke dalam tembok penjara Abu Gharib yang menjulang tinggi, dan berteriak ke arah dua personel Angkatan Darat AS dari satuan di Las Vegas.
Kedua prajurit tersebut, yang mengenakan kacamata anti-sinar matahari dan rompi anti-peluru, keluar dari salah satu pintu penjara yang terbuka dan menjelaskan tak ada yang dapat mereka lakukan. Namun jika orang-orang Iraq itu datang lagi satu dua hari kemudian, mereka mungkin sudah menerima daftar nama tahanan.
Kedua prajurit tersebut jelas ingin memperlihatkan “mereka bermaksud baik”.
Tetapi karena kondisi semacam itu sering terjadi dalam era pasca-perang, warga Iraq tersebut hanya dapat menelan kekecewaan mereka: mereka berteriak, memperkeras suara, melambaikan tangan dan meminta tentara Amerika mengizinkan mereka masuk.
Meskipun seorang prajurit, yang memiliki tato bergambar pedang pada tengkuknya, mengaku ia juga marah seandainya berada pada posisi mereka, komentar itu tak terlalu membesarkan hati.
Hassan Sleima (35), seorang montir, mencari kakaknya, Ibrahim, pengemudi taksi yang hilang ketika militer AS menyerbu rumah seorang kawannya 23 Juni.
Sleima dengan halus bertanya kepada kedua penjaga tersebut apakah kakaknya, salah satu di antara sedikitnya 3.000 warga Irak yang ditahan di seluruh negeri itu, berada di dalam Abu Gharib, tapi mereka memberitahu dia bahwa mereka tak tahu.
“Ia tak mencuri. Ia tak membunuh orang,” kata Sleima, sementara kedua matanya dipicingkan karena sengatan sinar matahari.
Slaime, yang juga telah mengunjungi gerbang bandar udara Baghdad yang dikuasai AS –lokasi Camp Cropper– pusat tahanan yang dikecam oleh organisasi hak asasi manusia, jelas mulai kehilangan kesabaran.
“Saya tak tahu di mana kakak saya berada. Mereka hari ini mengatakan kami dapat berkunjung, kemudian besok,” tambahnya, sementara prajurit AS yang bersenjata memandangi dia dari menara pengawas penjara tersebut.
Sangat ironis bahwa Abu Gharib, penjara yang ditakuti selama kekuasaan presiden terguling Saddam Hussein, sekarang bagi banyak warga Iraq menjadi lambang kekejamanan di bawah kekuasaan tentara Amerika.
Fahak Shanduk mengatakan tentara AS meledakkan pintu rumahnya enam hari lalu pukul 05:00 waktu setempat, memborgol adiknya, Walid –mantan personel militer– dan menyeretnya, sedangkan Walid hanya mengenakan pakaian dalam.
Tentara tersebut mencuri uang sebanyak 75.000 dinar Iraq (60 dolar AS), katanya, tapi yang terpenting ialah ia mengingini keterangan mengenai adiknya.
“Saddam buruk, tapi koalisi juga sama,” katanya dengan nada suara tak berdaya tapi menyimpan kemarahan.
Di sebelahnya, Abder Rahman (47) berteriak dengan suara histeris, “Adakah tahanan yang meninggal dua malam lalu?” Penjaga tersebut memberitahu dia tak ada tahanan yang meninggal, tapi itu tidak membuat dia tenang. Ia ingin melihat putranya, Abized. [Ant/gtr]