Hidayatullah.com–Kekecewaan atas sikap pemimpin negara-negara Arab yang lebih condong kepada AS dan negara-negara Barat lainnya mendorong Pemimpin Libya Moammar Qathafi menyatakan mundur dari Liga Arab dan menyatakan negerinya lebih sebagai bagian Afrika.
Di depan sekelompok wanita, di sebuah vila bergaya Mediterranea di Syrte sekitar 500 km di timur Tripoli, Qathafi menyatakan dirinya lebih condong kepada sosok Afrika dan menyatakan “selamanya di luar nasionalisme dan kesatuan Arab.”
Sabtu kemarin, secara simbolis Qathafi menjelaskan tentang tanggal 28 September 1961 yang merupakan awal dari akhir hubungan Suriah-Mesir, yang tiga tahun sebelumnya membentuk Republik Arab Bersatu untuk memberikan dukungan yang lebih baik kepada agenda umum mereka mewujudkan kesatuan Arab.
“Era nasionalisme dan kesatuan Arab telah sirna selamanya. Ide-ide ini yang pernah memobilisasi masa dalam hal yang tidak bernilai,” katanya.
Untuk memiliki kekuatan, Qathafi meminta kepada Kongres Populer -yang merupakan struktur dasar sistem politik Libya- menjelaskan penarikan diri Libya dari Liga Arab.
“Liga Arab sedang menyerah kepada hantu dan negara-negara Arab tidak akan pernah kuat meskipun mereka bersatu… mereka setiap malam akan tetap melihat cucuran darah di Palestina dan Iraq.”
Pada negara-negara Arab, Kolonel Qathafi mengutarakan kata-kata keras, membantah kemampuan kemanusiaan mereka, dan menentang bekas kebijakan mereka untuk membantu gerakan dan kelompok politik dari negara-negara Arab.
“Libya telah terlalu lama memikul beban negara-negara Arab, kami telah membayarnya dengan uang dan darah,” katanya. Dan hasil yang didapat, menurut dia, tidak pernah dirasakan rakyat Libya karena diboikot oleh AS dan direbut oleh negara-negara Barat lainnya.
Bahkan lebih buruk lagi, “sebagai hasilnya, negara-negara Arab bergabung dengan AS dan Israel melawan Libya,” katanya. Mengenai orientasinya pada Afrika, dia menggambarkan benua itu sebagai “satu sumber kekuatan yang sangat besar” bagi negaranya.
Penjelasan keras Qathafi itu tentu saja sangat mengejutkan ketika negara yang selalu dirundung tuduhan Barat mengenai terorisme tersebut baru saja lepas dari sanksi internasional. Sanksi dicabut setelah Libya bersedia membayar ganti rugi USD 10 juta kepada para keluarga setiap korban tragedi Lockerbie di Skotlandia pada 1988, yang menewaskan sekitar 270 orang.
Qathafi adalah pemimpin yang pernah gigih dan bersemangat dalam memperjuangkan Arab bersatu seperti pendahulunya Nasser. Pernyataannya akhir pekan lalu itu adalah perubahan sikap yang sangat frontal sebagai bentuk kekecewaannya terhadap sikap para pemimpin Arab.
Qathafi memegang tampuk pimpinan Libya sejak 1 September 1969. Sejak saat itu, dia mengidolakan mantan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser yang telah mengabdikan jiwa dan raganya untuk kesatuan Arab. Sayangnya, tindakan pemimpin Arab yang cenderung tunduk di bawah AS dan Barat menjadikan anggota Liga Arab mulai memutuskan diri. (afp)