Jum’at, 16 September 2005
Hidayatullah.com—Sebuah partai paling berkuasa di Thailand meminta mebut sekolah-sekolah madrasah. Vichai Chaijitwanichkul, anggota dewan dari Provinsi Udon Thani mengatakan, sekolah yang juga dikenal dengan pondok pesantren itu merupakan penyebab utama gerakan militansi yang memicu tewasnya tak kurang dari 1.000 orang sejak Januari 2004, di Narathiwat, Pattani dan Yala -tiga provinsi di negara dengan sebagian besar penduduknya beragama Buddha yang mayoritas warganya adalah muslim.
Pemerintah Thailand menuduh tindak kekerasan itu dilakukan oleh pergerakan separatis muslim.
Vichai mengatakan dia mewakili 25 anggota dewan dari Partai Rak Thai, yang dipimpin Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, berusaha mencari cara untuk mengakhiri tindak kekerasan itu.
Dia mengatakan, kelompok itu percaya bahwa beberapa ratus pondok pesantren di Thailand merupakan ”akar masalah terjadinya kekerasan,” dan pemerintah harus menutupnya. Kebanyakan pondok pesantren tersebut berdiri di daerah selatan Thailand.
”Salah satu alasan utama imbauan untuk penutupan pondok pesantren itu adalah karena beberapa guru di sekolah-sekolah ini adalah para ekstrimis muslim, yang mendorong tindak kekerasan di antara anak didiknya. Bukti menunjukkan bahwa sejumlah besar siswa dan guru di sekolah-sekolah tersebut terlibat dalam gerakan separatis,” kata Vichai.
Sementara itu, Nidir Waba, kepala asosiasi sekolah Islam di selatan mengecam upaya penutupan itu. ”Allah akan mengutuk orang-orang yang menutup sekolah-sekolah itu. Semua orang akan melawan pemerintah jika Thaksin menyetujui ide tersebut.”
Dia mengatakan 480 sekolah yang bergabung dengan asosiasi yang dipimpinnya bekerjasama dengan pemerintah dan tidak pernah membuat masalah.
Upaya ‘memberangus’ sekolah-sekolah Islam baik madrasah dan pondol pesantren bukan hal baru. Sebelumnya, pemerintah Pakistan juga sedang mengawasi madrasah dan pondok pesantren.
Kampanye melawan terorisme yang dipropagandakan Amerika, sering dijadikan alasan untuk memberangus sekolah-sekolah Islam. Sebelumnya, beberapa negara Barat bahkan mengusulkan agar pondok-pesantren yang jumlahnya ribuan di Indonesia untuk berganti kurikulum. (ap/cha)