Hidayatullah.com– Parlemen Belanda menganggap insiatif Maroko yang akan mengirim 170 imam saat bulan Ramadhan sebagai campur tangan yang tidak dikehendaki.
Sebelum ini, Menteri Agama Maroko mengumumkan akan mengirim 167 imam dan sembilan pengkhotbah perempuan ke Eropa pada bulan Ramadan September mendatang. Tujuannya untuk mencegah merebaknya ekstrimisme dalam komunitas Maroko di Eropa.
Sayangnya, usulan itu membuat banyak anggota parlemen Belanda yang merasa tersinggung dan menganggapnya sebagai campur tangan pemerintah Maroko.
"Masyarakat Maroko di Belanda bisa menentukan sendiri imam seperti apa yang mereka mau," kata Jeroen Dijsselbloem, anggota Parlemen dari Partai Buruh PvdA.
Anggota parlemen dari Partai Kristen Demokrat, Madeleine Toorenburg, mengatakan Belanda bisa memerangi radikalisasi tanpa bantuan Maroko.
"Para imam ini datang ke sini hanya untuk beberapa minggu. Mereka tidak berbicara Bahasa Belanda dan sama sekali tidak tahu menahu tentang masyarakat Belanda. Menurut kami, orang-orang seperti itu tidak bisa membantu kita melawan radikalisasi," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, di Belanda, para imam Maroko justru dianggap sebagai penyebab radikalisasi.
Menurut Van Toorenburg, kunci pemecahan justru terletak pada pelatihan Imam Belanda dan tidak dengan mendatangkan imam dari Maroko.
"Di Belanda sudah ada sekolah khusus untuk mendidik para imam. Mereka adalah orang-orang yang sudah terintegrasi dengan masyarakat Belanda. Orang-orang itulah yang kita butuhkan. Bukannya import-import yang sama sekali tidak tahu tentang masyarakat kita," ujarnya.
Hingga saat ini, diperkirakan terdapat 945.000 orang kaum Muslim tinggal di Belanda. Namun data dari Biro Statistik Pusat (CBS) tahun 2006, jumlahnya justru mencapai 1 juta. Hanya saja, pasca tragedy 11 September, kaum Muslim Belanda masih diperlakukan secara diskriminatif. Tahun 2007, misalnya, anggota parlemen Belanda, Geert Wilders mati-matian mengusulkan agar kitab suci Al-Quran dilarang. [rnwl/hid/cha/hidayatullah.com]