Hidayatullah.com–Posisi guru seharusnya diisi oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai kompetensi di bidangnya. Oleh karena itu sebenarnya wajar jika syaratnya sedikit berat. Namun, sepertinya persyaratan yang berat itu membuat frustasi sebagian orang yang berkeinginan menjadi guru di Arab Saudi. Mereka menuding para penyeleksi calon guru sebagai batu sandungan dalam dunia pendidikan di sana.
Sebuah episode dari serial komedi di Arab Saudi, Tash Ma Tash, menggambarkan para pakar agama sebagai penentang reformasi pendidikan. Diceritakan dalam tayangan itu, seorang calon guru frustasi ketika menghadapi pertanyaan selama wawancara untuk mengisi lowongan guru di kantor Kementerian Pendidikan.
Anggota Majma Fiqh Al Islami, Shaikh Muhammad Al-Nujaimi baru-baru ini mengkritik cerita itu, dan mengatakan itu hanyalah “sekedar upaya mencetak angka” yang dilakukan oleh Yahya Al-Amir si penulis cerita.
“Ia seorang ekstremis liberal yang punya segudang masalah dengan kementerian,” katanya merujuk Kementerian Pendidikan. “Ia seharusnya mengurusi masalah sosial, ekonomi, dan perdagangan, bukan masalah pribadi,” tambahnya.
Mengomentari cerita yang menggambarkan seorang calon guru yang frustasi ketika menghadapi pertanyaan selama wawancara, ia mengatakan bahwa Al-Amir hanya memusatkan perhatian pada dua aspek kecil yang tidak termasuk esensial.
“Cara berpikir seorang guru dan keterampilannya dalam mengajar, memberika informasi kepada murid-murid, merupakan hal yang juga penting. Sebagaimana tidak cukup menjadi seorang doktor dalam ilmu fiqh, tapi ia tidak dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik,” katanya.
Dikatakan oleh Shaikh bahwa penulis cerita itu menuding panel yang bertugas mewawancarai, tanpa melihat fakta bahwa mereka bekerja sebagaimana mestinya. Juga dikatakan, ia mengerti jika penulis itu menginginkan sebuah “pendidikan masyarakat”, tapi Al-Amir memakai istilah yang “samar-samar” tanpa menerangkan apa maksudnya.
“Penulis itu juga mengutip sebuah buku sekolah yang mengatakan bahwa mempekerjakan orang kafir sebagai pembantu rumah tangga adalah dilarang, tanpa menjelaskan kebenaran tentang masalah itu.”
Menanggapi pernyataan Shaikh Al-Nujaimi, Al-Amir mengatakan bahwa ia tidak memperdulikan hal itu. “Tidak perlu memberi tanggapan, karena semuanya itu adalah anggapan dan dugaan yang tidak masuk akal,” katanya Sabtu lalu.
“Cerita di episode itu tidak menyinggung ekstremis manapun. Tapi itu tentang orang-orang tradisional dan birokrat yang melambangkan batu sandungan bagi kemajuan pendidikan di kerajaan,” kata Al-Amir.
Hari Senin, episode yang kontroversial dari serial komedi Tash Ma Tash itu menimbulkan perdebatan luas baik dalam masyarakat maupun media massa.
Kepada Al-Watan Selasa pekan lalu Al-Amir mengatakan bahwa ada tanggapan yang besar setelah episode itu ditayangkan. Banyak yang memberikan selamat, ucapan terima kasih, dan dukungan.
Beberapa orang calon guru yang gagal pada tahap wawancara ketika melamar menjadi guru mengatakan kepada Al-Watan bahwa cerita dalam episode itu sesuai dengan pengalaman mereka.
Sepertinya masyarakat Saudi perlu belajar dari pengalaman Indonesia. Di negara ini syarat menjadi seorang guru sangatlah ringan, bahkan profesi guru banyak dijadikan pelarian karena frustasi tidak mendapatkan pekerjaan lain. Banyak guru yang mempunyai kompetensi keilmuan dan moral yang rendah, akibatnya kualitas pendidikan di negara ini semakin lama semakin menurun. [di/sg/hidayatullah.com]