Hidayatullah.com–Masjid Polder berlokasi di sebuah gedung perkantoran dekat jalan tol di Amsterdam yang pernah diimpikan sekelompok anak-anak muda liberal Belanda akhirnya tutup karena alasan biaya.
Masjid yang dipimpin oleh seorang perempuan ini ditutup karena kekurangan dana. Kabarnya, dalam waktu kurang dari dua pekan masjid ini harus menyediakan uang sebesar 50.000 euro untuk membayar sewa gedung.
“Saya tidak mendapat kesan mereka benar-benar berbeda dari apa yang sudah ada. Berkhotbah dalam bahasa Belanda dan berdebat tentang hak-hak sosial juga sudah terjadi di masjid-masjid lain. Menurut saya Masjid Polder adalah sebuah inisiatif yang cukup antusias dari sejumlah pemuda yang tidak memiliki banyak uang tapi menyewa tempat yang terlalu mahal. Ditambah lagi mereka juga tidak ingin mendapatkan sumbangan dari pihak asing. Ini membuat situasi keuangan mereka semakin sulit untuk tetap eksis dalam waktu yang lama,” ujar pakar Islam Nico Landman.
“Konsep Masjid Polder menarik banyak pihak dan mereka sebenarnya punya cukup pendukung. Menurut saya ide di balik adanya Masjid Polder adalah sebuah masjid yang diurus oleh muslim yang dilahirkan di Belanda. Ini adalah masa depan semua masjid di sini. Kenyataan bahwa Masjid Polder harus tutup karena kekurangan dana tidak menunjukkan bahwa tujuan awal mereka tidak tercapai. Mengurangi keterkaitan dengan bangunan dengan minaret-minaret indah dan lebih mengedepankan bentuk organisasi dan keuangan yang dikelola dengan baik,” ujar guru besar Islam di Eropa, Tijl Sunier.
Masjid Polder dibangun anak-anak muda dengan menggunakan konsep bahasa pengantar bahasa Belanda dan dipimpin seorang perempuan, Yassmine El Ksaihi.
“Karena bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar di Poldermoskee, para non-muslim pun menjadi tertarik dengan masjid ini. Imam masjid pun bukan seorang laki-laki kecil berjanggut mengenakan jubah panjang dan berwajah menakutkan. Sekarang mereka lebih mengerti apa yang dikhotbahkan dan situasi seperti ini amat mendamaikan. Lagi pula di sisi lain pemuda muslim yang lahir dan dibesarkan di sini memang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa utama mereka,” ujar Yassmine El Ksaihi.
Di dalam masjid bahasa asing tidak digunakan, laki-laki dan perempuan bisa beribadah bersama, tidak ada sumbangan dari Timur Tengah dan juga ada debat mengenai homoseksualitas dan hak-hak perempuan. Orang Belanda asli senang mengetahui tradisi Islam yang khas Belanda ini. Logo Masjid Polder sendiri adalah gabungan minaret dan tulip Belanda. Berbagai delegasi dari seluruh dunia datang ke sana dan koran-koran pun sering membahas masjid ini.
Namun ‘muslim-polder’, julukan para pemuda Masjid Polder, mendapat sindiran dari komunitas muslim yang sudah ada. Masjid mereka hanyalah sebuah aksi kepopuleran dan terlalu bersujud kepada Belanda yang tidak Islami.
Setelah Idul Adha ini Masjid Polder menutup pintunya. Namun pimpinan masjid, Yassmine El Ksaihi, berharap bisa memulai kembali dan mengatakan telah mendapatkan banyak reaksi antusias. Dengan demikian, ditutupnya bangunan Masjid Polder bukan berarti akhir dari segalanya, tapi justru sebuah cobaan atas kelahiran generasi Islam yang baru di Belanda. [rnwl/hid/hidayatullah.com]