Hidayatullah.com–Stephen Rademaker, mantan Deputi Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, mengkritik kinerja Presiden Barack Obama terhadap revolusi politik yang tengah bergejolak di Libya. Ia mengatakan bahwa Obama telah memperburuk keadaan rakyat Libya.
Rademaker yang juga seorang penulis mengatakan bahwa Washington harus bertanggungjawab atas kesalahannya terhadap keadaan di Libya saat ini. Ia juga mengimbau kepada Washington untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari revolusi politik di Libya.
Menurutnya, yang terpenting yang harus dilakukan Washington pertama kali adalah hal yang terkait dengan larangan penjualan senjata kepada Libya yang diberlakukan Dewan Keamanan PBB beberapa waktu lalu.
Rademaker menjelaskan bahwa larangan penjualan senjata tersebut bertujuan untuk mencegah Muammar Qadhafi mendapatkan senjata baru. Ia menambahkan bahwa baru-baru ini Washington juga mengumumkan bahwa keputusan larangan penjualan senjata tersebut juga berlaku bagi para pemberontak anti-Qadhafi.
Rademaker bertanya-tanya, jika seandainya pemerintah Obama mendukung pemberontak dan ingin menjatuhkan rezim Qadhafi, lantas mengapa Washington melarang penjualan senjata? Menurutnya ini adalah kesalahan terbesar pertama yang dilakukan oleh pemerintah Obama.
Menurutnya, situasi di Libya akan menjadi adil jika seandainya kedua belah pihak yang bersenjata tersebut memiliki kekuatan yang sama. Padahal sebagian besar rakyat Libya yang anti-Qadhafi tidak bersenjata seperti apa yang dimiliki Qadhafi.
Selanjutnya, Rademaker mengatakan bahwa kesalahan terbesar kedua adalah keputusan Amerika Serikat untuk mendukung PBB yang ingin menyeret Muammar Qadhafi ke Mahkamah Pidana Internasional, dengan tuduhan telah melakukan kejahatan perang dan genosida terhadap rakyat Libya.
Dengan keputusan tersebut, Rademaker menilai bahwa Qadhafi dan pendukungnya hanya memiliki dua pilihan, menyerahkan diri ke Pengadilan Internasional atau melanjutkan pertempuran melawan pemberontak. Sedangkan saat ini pemerintah Qadhafi sepertinya tidak ingin mundur begitu saja, maka hal ini tentu saja menempatkan Libya di ambang perang saudara.*