Hidayatullah.com—Inggris akan mengambil alih kontrol perdagangan minyak di Libya. Keputusan ini dilakukan menyusul keberhasilan pemberontak Libya yang telah berhasil menguasai dua tempat utama produksi minyak Libya.
Pemberontak bahkan telah mengatakan, awal pekan depan mereka akan mulai mengekspor minyak. Para pemberontak berharap bisa menghasilkan antara 100.000 dan 130.000 barel per hari dan akhirnya bisa meningkat menjadi 300.000 barel per hari.
Dengan keputusan pengambilalihan ini, maka Inggris menghadapi konflik diplomatik, karena banyak negara-negara Arab takut bahwa pihak Barat hanya tertarik pada minyak di Libya. Qatar dan Inggris adalah salah satu pendukung terbesar dari pihak pemberontak Libya.
Menteri Pertahanan Inggris Liam Fox mengatakan kepada media Inggris BBC bahwa dia terutama ingin menjamin keamanan di pelabuhan. Dia percaya hal ini akan memulihkan keseimbangan dalam perdagangan minyak Libya.
Sebagaimana diketahui, pantai di Ras Lanouf dan Brega bertanggung jawab atas produksi ekspor minyak Libya dan hampir sudah menghentikan kegiatan produksinya semenjak pemberontakan mulai muncul 15 Februari lalu.
Laporan Statistik Energi British Petroleum (BP) pada 2009 menyebut, Libya sebagai eksportir terbesar ke-12 di dunia dengan sumber cadangan minyak terbesar di Afrika.
Beberapa perusahaan minyak besar dunia beroperasi di sana, seperti Repsol (Spanyol), BP (Inggris), Shell (Belanda), Gazprom (Rusia), Statoil (Norwegia), dan Medco (Indonesia).
Sulit diterima dengan akal bila intervensi Barat ke Libya ini tidak terkait dengan usaha ‘penjarahan’ minyak Libya.
Masalahnya, serangan berbekal mandat Dewan Keamanan PBB lewat Resolusi Nomor 1973 yang awalnya dilakukan atas alasan membatasi aksi militer pasukan koalisi di Libya, namun kenyataanya menjadi parade pamer senjata dan gempuran mematikan di wilayah-wilayah yang dipadati warga sipil.
Barat yang selalu sering memanggul panji-panji demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di kawasan yang sedang dilanda krisis, namun faktanya menciptakan tragedi kemanusiaan. Meski Amerika masih menampakkan rasa sopannya dalam kasus ini, substansinya tetap sama, dalih penyelamatan kemanusiaan dengan menghancurkan kemanusiaan dan secara serentak mencaplok minyak. *