Hidayatullah.com–Surat kabar The Washington Times dalam editorialnya mengkritik sikap Obama yang dinilai tidak seimbang serta terkesan canggung terhadap Libya dan Suriah.
The Washington Times mengatakan bahwa rezim Bashar Assad tidak jauh berbeda dengan rezim Muammar Qadhafi. Rakyat Suriah juga melakukan upaya yang sama dengan rakyat Libya untuk mendapatkan kebebasan. Dan Assad juga menggunakan senjata, tank, dan membunuh ratusan orang, seperti halnya Qadhafi.
Editorial itu menyebutkan, Suriah melihat bahwa intervensi Barat di Libya dapat memberikan mereka dukungan internasional. Namun Amerika menolak untuk memberikan dukungan apapun kepada rakyat Suriah, kecuali hanya beberapa pernyataan saja.
Surat kabar itu melansir pernyataan Menteri Pertahanan Amerika Robert Gates yang mengatakan bahwa ia harus mempelajari dulu situasi di setiap negara. Menurut Gates, seperti halnya kasus Libya, Obama tidak meminta PBB untuk segera melakukan intervensi ke Libya kecuali, setelah adanya gerakan dari Liga Arab dan Gulf Cooperation Council (GCC).
The Washington Times juga mengatakan bahwa Amerika memiliki kepentingan yang lebih strategis dalam perubahan rezim di Suriah, lebih dari Libya. Suriah yang dipimpin Assad adalah sekutu dekat Iran, dan sangat mendukung Hizbullah. Rezim Assad juga merupakan bagian dari Bulan Sabit Syiah yang disponsori oleh Iran.
Selain itu, editorial itu juga menekankan akan banyaknya jumlah warga Suriah yang akan tewas sebelum adanya intervensi tersebut. Sampai sekarang jumlah korban tewas telah mencapai angka 400 orang.
Pada bulan Februari 1982, di Suriah terjadi penindasan brutal yang dilakukan oleh Hafez Assad, yang terkenal dengan pembantaian Hama. Peristiwa tersebut setidaknya telah menewaskan warga sipil antara 10 sampai 40 ribu orang. Dan bisa dibilang ini adalah pembantaian terbesar di Timur Tengah era modern.
Menurut The Washington Times, hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan kembali diulang oleh Bashar Assad, seperti yang dilakukan oleh ayahnya.
Terakhir, The Washington Times menyebutkan bahwa Gedung Putih wajib melihat kembali logika hak asasi manusia, dan mengakui bahwa kebijakan tersebut tidak dapat diprediksi. Ia menyebutnya sebagai kebijakan yang bukan kebijakan.*