Hidayatullah.com–Setelah Perdana Menteri Mesir, Essam Sharaf me-reshuffle kabinetnya, sebagai upaya ‘mendinginkan’ suhu politik Mesir yang memanas dengan menghadirkan pemerintahan yang lebih representatif, para wanita Mesir mulai unjuk suara menuntut representasi lebih besar dalam perpolitikan.
Sebagaimana diketahui, Sharaf telah me-reshuffle sebanyak 14 menteri dalam kabinetnya pada Ahad, (18/07/2011), di antaranya dengan mengganti Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri, tetapi tetap mempertahankan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman.
Sejumlah organisasi kewanitaan beranggapan bahwa dengan hanya seorang wanita dalam kabinet baru tersebut, yakni Menteri Kerjasama dan Perencanaan Internasional Fayza Abul-Naja, pemerintahan baru ini jauh dari egaliter.
Kendatipun, Harian Mesir Al-Ahram menyebut sebagai “liberal-dominated”, para pengunjuk rasa Tahrir Square yang telah menggelindingkan roda perubahan di Mesir mengklaim bahwa kabinet yang baru ini masih terlalu pro-Mubarak.
Suara-suara bernada protes dari publik memaksa Sharaf menunda sementara pengambilan sumpah pemerintahan baru tersebut yang sedianya dilakukan pada hari Selasa (20/07/2011).
“Ini merupakan sebuah kesengajaan untuk mengabaikan representasi wanita,” ucap Nahed Shahata, Head of Programming pada Egyptian Center for Women’s Right (ECWR), sebuah organisasi LSM berbasis di Kairo, pada The Media Line sebagaimana dilansir situs Arabnews.
“(Padahal) para wanita berdiri berdampingan dengan para pria di Tahrir Square. Banyak dari mereka yang tewas dan terluka seperti halnya pria. Ini bukanlah sebuah pertanyaan mengenai gender; ini adalah sebuah periode penting dalam transisi demokrasi,” lanjutnya lagi.
Lima bulan setelah jatuhnya Hosni Mubarak dari kursi kepresidenan dalam pemberontakan besar-besaran yang berpusat di Tahrir Square Kairo, kabinet Sharaf yang ditunjuk dan dikendalikan oleh para jenderal Angkatan Bersenjata dari SCAF (Supreme Council of the Armed Forces) telah berjuang untuk memperoleh pijakan yang kokoh.
Shahata mengatakan bahwa tidak ada satu penghalang pun baik dari sisi agama maupun pendidikan yang menghalangi wanita untuk memegang posisi kepemimpinan di Mesir, apalagi bila melihat fakta banyaknya wanita yang telah mengabdikan diri sebagai jaksa, akademisi dan pemimpin sosial.
Dia menegaskan pemerintah memliki tanggung jawab untuk menanamkan ide-ide mengenai kesetaraan pada masyarakat dengan menempatkan lebih banyak lagi wanita di parlemen, dalam pemerintahan baru dan sebagai gubernur/kepala daerah.
Dalam rilis pers yang dikeluarkan, ECRW sendiri tidak menjelaskan berapa rasio jumlah wanita yang dianggap adil, tetapi Shahata menyebutkan angka 30 persen sebagai target yang masuk akal.
Para wanita telah diizinkan untuk menggunakan hak pilihnya di Mesir sejak tahun 1956, dan berdasarkan sebuah rancangan undang-undang yang disahkan pada tahun 2009, sebanyak 64 kursi di Dewan Rakyat, Majlis Rendah pada Parlemen Mesir, disediakan untuk wanita, dari jumlah keseluruhan 454 kursi.
Sebelum itu, hanya sembilan orang wanita yang bisa memperoleh kursi dalam Parlemen Mesir setelah Pemilihan Umum tahun 2005. Mereka hanya merepresentasikan 2 persen dari total kursi yang ada.
Sementara itu, Al Ikhwan al Muslimun (Ikhwan), kekuatan politik utama Mesir, telah mengizinkan wanita untuk mengajukan diri sebagai calon anggota parlemen, tetapi menentang pencalonan wanita sebagai presiden, dengan dalih bahwa menurut hukum Islam. Menurutnya, posisi tersebut hanya diperuntukkan untuk laki-laki.
Oleh karena itu, tidak ada anggota wanita dalam badan-badan pengambilan keputusan di Ikhwanul, seperti Dewan Syura dan Dewan Pertimbangan.
Meskipun demikian, dalam pemilihan presiden yang sedianya dilangsungkan setelah pemilihan anggota parlemen pada musim panas, seorang wanita berencana akan ikut bertarung melawan 19 kandidat lainnya yang semuanya adalah laki-laki.
Buthaina Kamal, demikian nama wanita tersebut, adalah seorang aktivis sosial berusia 49 tahun, telah menjadi populer di mata massa Tahrir karena partisipasi aktifnya dalam revolusi dan sikapnya yang blak-blakan menentang rezim militer.
“Revolusi sedang dicuri,” ucapnya pada Harian Asy-Syarq Al-Awsath yang berbasis di London pada hari Selasa (20/07/2011).
“Kita telah duduk tenang dalam waktu cukup lama, dan hasilnya kita semakin bergerak mundur ke belakang,” lanjut Kamal, yang kembali ke Tahrir Square minggu ini untuk melanjutkan protes menentang pemerintah, kepada harian tersebut.
Berpakaian tanpa jilbab, mengenakan busana modern dengan sebatang rokok terselip di jemarinya, Buthaina Kamal berjanji akan melancarkan kampanye anti korupsi.
Menurutnya, retorika SCAF mengingatkannya akan era Mubarak, dan tidak mengandung apa pun seain ancaman dan peringatan akan bahaya para pengunjuk rasa Tahrir Square
Maya Kassem, seorang pakar politik di American University of Cairo, mengatakan bahwa perdebatan mengenai representasi wanita dalam dunia politik tidaklah relevan, karena ia tidak yakin Mesir akan menjalani proses demokrasi dalam waktu dekat.
“Saya pesimistis,” ucap Kassem kepada The Media Line. “ Transformasi ke arah demokrasi tidak akan berlangsung cepat. Militer tidak akan rela kehilangan kekuasaan mereka begitu saja.”
Jatuhnya rezim Mubarak tidak serta merta menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah baru, terutama wajah Mesir yang mulai liberal.*/ Zahratun Nahdhah
Foto: Buthaina Kamal