Hidayatullah.com–Setelah bertahun-tahun berada di bawah “kekangan” rezim penguasa Hosni Mubarak, sekarang Al-Azhar kembali mendapatkan posisi kepemimpinannya dalam agenda-agenda Mesir. Lembaga besar di bumi Para Nabi ini kembali menonjolkan wibawanya seiring dengan revolusi dunia Arab, khususnya Revolusi Mesir 25 Januari 2011.
Mengingat masyarakat Mesir merupakan masyarakat yang dekat dengan agama, pemerintah Mubarak lantas berusaha “menjinakkan” Al-Azhar, lalu meletakkan batas-batas peranannya dalam masyarakat.
Di bawah rezim Mubarak, Al-Azhar seakan absen dari kehidupan sosial masyarakat Mesir, atau dia ada, namun berada di bawah tangan penguasa pemerintahan. Namun dengan pecahnya Revolusi 25 Januari 2011, Al-Azhar kembali mendapatkan wibawa besarnya di tengah masyarakat Mesir.
Di tengah kuatnya gejolak kontroversi soal konstitusi Mesir, Al-Azhar mengeluarkan dokumen tentang masa depan Mesir, yang akhirnya banyak mendapat tanggapan baik dari berbagai elemen Mesir. Dokumen itu berisi imbauan untuk memperkuat identitas Mesir sebagai negara Arab dan Islam, dengan tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi.
Usai pemilihan umum legislatif, beberapa kalangan ada yang merasa takut dengan kemenangan kelompok Islam (Partai Kebebasan dan Keadilan dan Partai Nur). lantas menggantungkan diri kepada Al-Azhar. Dengan kemoderatannya, Al-Azhar diyakini dapat membantu menenangkan kekhawatiran kalangan Mesir yang takut atas kemenangan kelompok Islam dalam pemilu legislatif, khususnya terhadap Salafi.
Begitu juga ketika terjadi ketegangan serius antara militer dengan beberapa kekuatan di Mesir seusai rampungnya pemilu legislatif, Al-Azhar kembali muncul dengan resolusinya untuk menyelesaikan konflik tersebut. Al-Azhar menyerukan semua kalangan untuk bersama-sama mencapai tujuan Revolusi 25 Januari serta mengembalikan semangatnya.
Dalam beberapa minggu terakhir ini, Al-Azhar menjadi kiblat bagi berbagai kekuatan di Mesir, termasuk kekuatan politik. Salah satunya contohnya diadakannya pertemuan penting yang dihadiri oleh Perdana Menteri Kamal Ganzuri, Pimpinan Kristen Koptik Paus Shenouda III, pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun Dr. Muhammad Badi’, calon-calon potensial untuk presiden Mesir mendatang, beberapa pemimpin partai politik dan tokoh masyarakat.
Tidak hanya di dalam negeri, Al-Azhar juga kembali memainkan peranannya di luar negeri, khususnya di dunia Arab dan Islam. Sebagai contoh, ketika Grand Syeikh Al-Azhar Dr. Ahmad Tayyib menerima kunjungan Perdana Menteri Palestina Ismail Haniyah, Al-Azhar menyampaikan bahwa perlawanan yang dilakukan Hamas adalah sah. Bahkan Syeikh Al-Azhar secara pribadi menyatakan bahwa dirinya siap untuk mati syahid di Palestina.
Lebih dari itu, dilaporkan Aljazeera, bahkan Grand Syeikh Al-Azhar telah menolak menerima Menteri Luar Negeri Italia Giulio Terzi di Santaga di kantor Masyikhah Al-Azhar pada hari Kamis lalu, karena terlambatannya datang ke kediaman Syeikh Al-Azhar.*