Hidayatullah.com—Seorang warga Sudan yang dipenjara di Guantanamo hari Rabu tiba kembali di negaranya setelah mendekam dalam kurungan selama sepuluh tahun.
Sebelum berkumpul kembali dengan istri dan dua putrinya, Ibrahim Al Qosi terlebih dahulu akan mengikuti program reintegrasi yang digelar pemerintah di ibukota Khartoum, kata pengacaranya.
“Saya kira Anda mungkin dapat menyebutnya sebagai hadiah ulang tahun terbaik yang pernah didapatnya,” kata Paul Reichler, pengacara spesialis hukum internasional yang berbasis di Washington, saat diwawancarai Associated Press (13/7/2012) lewat telepon di sela-sela menghadiri konferensi hukum di Yunani.
Al Qosi, yang belum lama ini memasuki usia 52 tahun, tidak pernah bertemu lagi dengan keluarganya sejak ditangkap dan dikirim ke penjara AS di Kuba awal tahun 2002. Pembebasannya menyusutkan jumlah tawanan di Guantanamo menjadi tinggal 168 orang.
Pentagon dan media pemerintah Sudan mengkonfirmasi pembebasan Al Qosi.
Al Qosi termasuk tahanan pertama yang dijebloskan ke penjara Guantanamo oleh Amerika Serikat.
Ia pergi ke Afghanistan tahun 1996 dan bekerja menjadi menjadi juru masak di kamp Al Qaidah. Juli 2010 Al Qosi melakukan kesepakatan dengan jaksa militer, di mana ia mengaku bersalah atas dakwaan memberikan dukungan material pada teroris dan melakukan konspirasi. Pengakuan itu ditukar dengan hukuman 14 tahun yang bisa dikurangi 2 tahun. Kesepakatan tersebut menghindarkannya dari hukuman yang lebih lama, atau mungkin sumur hidup.
Al Qosi tidak pernah didakwa melakukan tindakan kekerasan apapun. Dia bekerja sebagai juru masak dan membantu menyiapkan suplai di kamp para pejuang Afghanistan.
Pengacaranya mengatakan, dia kemungkin pernah berkelana bersama Usamah bin Ladin, tetapi tidak pernah menjadi orang dalam yang dekat dengan para pemimpin Al Qaidah.
Di Sudan Al Qosi tidak akan menghadapi tuntutan hukum lain. Ia kabarnya akan pulang ke kampung halamannya di Atbara, di mana keluarganya memiliki peternakan dan sebuah toko.
Reichler menjelaskan, salah satu alasan Washington mau melepaskan Al Qosi karena ia dianggap tidak akan membahayakan Amerika Serikat.*