Hidayatullah.com—Muslim di Prancis menaruh harapan banyak ketika presiden baru negeri mode itu menunjuk seorang wanita kelahiran Maroko sebagai menteri urusan wanita dan jurubicara resmi pemerintah, yang diharap akan memperbaiki perlakuan pemerintah atas Muslim di negara itu. Namun, sepertinya harapan itu akan sia-sia.
Enam juta Muslim yang tinggal di Prancis berharap, Najat Vallaud-Belkacem akan mengoreksi kebijakan larangan burqa yang disahkan pada masa pemerintah Nicolas Sarkozy.
“Sejak larangan itu diberlakukan, kami mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan dari polisi. Dan yang menjadikannya lebih buruk adalah pandangan benci orang lain [terhadap kami],” kata Salima Kader, ibu tiga anak berusia 38 tahun kepada Guardian, sebagaimana dikutip Al Arabiya (17/7/2012).
“Mereka pikir larangan itu merupakan otorisasi untuk menghina, meludahi dan bahkan melakukan serangan fisik. Larangan itu sudah menjadi simbol kebencian terhadap seluruh komunitas Muslim,” papar Salima.
Bukannya memberikan perhatian terhadap masalah wanita Muslim dan cadar, Vallaud-Belkacem memilih untuk lebih fokus kepada masalah mengakhiri prostitusi –yang oleh negara Prancis sampai saat ini dilegalkan. Vallaud-Belkacem sepertinya enggan mengambil tindakan yang lebih realistik seperti kebijakan pendirian masjid dan jam kolam renang khusus wanita di kolam umum, yang lebih kemungkinan untuk mendapat dukungan dari komunitas yang berlatarbelakang sama dengannya.
Padahal jajak pendapat yang dilakukan oleh majalah terkemuka Le Figaro menunjukkan, mayoritas Muslim di Prancis memilih partai sosialis asal Presiden Francois Hollande dalam pemilihan umum. Termasuk dukungan dari wanita Muslim, yang berharap pemerintahan Hollande akan menghapuskan kebijakan yang mengucilkan Muslim, seperti larangan cadar.
“Sosialis dapat menghapuskan larangan burqa hanya dengan satu coretan pena. Mereka memiliki mayoritas yang besar di parlemen,” kata Sonia Choukri seorang mahasiswi berusia 23 tahun dari Marseille.*