Hidayatullah.com–Tingkat kekerasan yang berhubungan dengan membawa senjata tajam semakin meningkat di berbagai kota di Yaman. Yang menjadi pembicara adalah tentang hubungan antara tingkat kriminalitas dengan tingkat membawa senjata tajam.
Namun yang jadi persoalan, apa sebenarnya motiv masyarakat Yaman suka membawa senjata? Dan mengapa peran negara absen dalam mengatur kepemilikan, membawa serta menggunakan senjata tajam? Dan apa peran masyarakat itu sendiri?
Aljazeera menyorot tradisi masyarakat Yaman yang sering membawa senjata. Kebiasaan membawa senjata sebelum ini biasanya hanyalah di pedesaan saja. Sedangkan untuk kota Sanaa yang menjadi tempat migrasi, orang-orang yang membawa senjata tidak diperbolehkan memasuki kota dengan senjata mereka.
Akan tetapi situasinya sekarang berbeda. Di jalan-jalan Sanaa sangat mudah sekali didapati orang-orang yang membawa senjata, hingga melakukan penculikan dan pembunuhan secara bebas.
Hal yang serupa juga sekarang dapat kita temukan di berbagai kota lainnya di Yaman, seperti Aden, Taiz, Hadramaut, dan lainnya. Sementara itu, Undang-undang Yaman telah melarang kepemilikan senjata api dan membawanya di dalam ibukota Sanaa, serta di ibukota-ibukota provinsi dan kota-kota tertentu, kecuali dengan surat izin dari otoritas perizinan yang berlaku.
Seperti yang dilansir oleh Aljazeera, Senin (17/09/12), Kementerian Dalam Negeri Yaman mengeluarkan laporan yang mengatakan bahwa dalam tiga tahun ini, angka orang terluka akibat dari kecelakaan dalam pertikaian dan kejahatan mencapai 31.711 orang. Sebanyak 23.577 orang terluka akibat penggunaan senjata api, atau mencapai 84,72%.
Pada tahun 1992, Partai Sosialis Yaman telah mengajukan undang-undang yang mengatur kepemilikan dan membawa senjata di Yaman.
Akan tetapi undang-undang tersebut tidak berjalan di bawah kekuasaan mantan Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh, dengan alasan bahwa Partai Sosialis hanya ingin menarik senjata-senjata dari kabilah-kabilah di Yaman agar mudah merebut kekuasaan.
Di saat pemerintah absen dalam upaya memerangi kasus kepemilikan dan membawa senjata, maka muncullah upaya-upaya yang bersumber dari masyarakat sendiri. Akan tetapi upaya tersebut tidak signifikan dan hanya menghasilkan dampak yang kecil.
Di antaranya upaya dari masyarakat itu adalah adanya organisasi yang bernama “Rumah Perdamaian untuk Memerangi Balas Dendam dan Kekerasan” yang didirikan pada tahun 1997. Salah satu program dan tujuan organisasi ini adalah memberikan kesadaran kepada masyarakat akan bahayanya membawa senjata.*